follow me Kakaa

Jumat, 20 Januari 2012

SELEPAS KAU PERGI

Gadis itu masih ditempatnya duduk sejak sejam yang lalu. Udara malam pantai menerbangkan rambut panjangnya. Pandangannya kosong. Bayangan Dika masih terus memenuhi otaknya. Semua hal yang dilaluinya bersama kekasihnya itu masih terekam kuat di memorinya. Evin memang lebih suka menyendiri atau sekedar membuang penat di pantai apalagi pantai itu adalah kenangan termanis yang sering ia lalui bersama Dika.

Dika adalah cowok Heaven atau Evin-biasa teman-temannya memanggil. Evin merasa terpukul dengan kepergian Dika yang tiba-tiba karena kejadian di kemping minggu lalu. Dika terjatuh saat berusaha menolong dirinya ketika terpeleset ke jurang.

Evin merasa bersalah karena Dika meninggal gara-gara dia. Kini cowok yang dia sayang sudah tidak ada lagi disampingnya untuk selamanya. Evin kembali larut dalam isakannya mengingat kenangan pahit yang justru menjadi racun baginya karena kebodohannya.

“cewek gak bagus malem-malem sendirian di pantai,” ucap sebuah suara. Evin tak menghiraukan seseorang yang menyapa lalu duduk disampingnya itu. Meskipun dia tahu siapa cowok itu, cowok yang akhir-akhir ini suka mendekati dirinya. Namun Evin selalu saja menghindar.

“bengong lagi, banyak setan tau,” sambung cowok itu merasa kedatangannya tak ditanggapi cowok itu mengambil kaleng kosong bekas soft drink di dekat tempatnya duduk.

“ngapain kamu?” mulut Evin akhirnya terbuka. Melihat tingkah aneh cowok itu hatinya tergelitik untuk bertanya.

“eh...ngomong juga? Kirain aku bakal dikacangin sampai garing makanya aku mau ngomong sama kaleng nih.” Ucapnya asal.

Pandhu nama cowok itu. Pandhu adalah sahabat Dika yang sudah lama menaruh hati pada Evin namun Pandhu sadar kalau Evin lebih memilih Dika daripada dirinya. Namun alasan lain Evin tak memilih Pandhu adalah karena hoby Pandhu yang suka mengikuti balapan liar dan Evin tak suka itu.

“ngapain kamu kesini?” tanya Evin kemudian.

“loh..ini kan tempat umum, siapa aja boleh dong dateng. Kamu juga, ngapain coba malam-malam kesini sendiri kalau ada cowok iseng gimana?” nada khawatir tersirat jelas dari ucapan Pandhu.

“gak ada yang bakal ngisengin gadis bodoh kayak aku, ada juga paling kamu, siapa lagi? Kamu kan tukang ganggu.” Jawab Evin ketus.

“udah deh Vin, aku capek ya debat mulu sama kamu. Aku pikir setelah seminggu kematian Dika kamu bakal lebih ikhlas ternyata sama aja. Kamu tuh harusnya tegar Vin, Dika bakal bahagia disana kalau kamu disini juga rela dengan kepergiannya.” Pandhu lalu pergi meninggalkan Evin. Sebenarnya hatinya berat untuk meniggalkan gadis yang dicintainya sendiri, tapi sikap Evin membuatnya jenuh juga. Padahal maksudnya adalah untuk menghibur Evin.

“maafin aku Pandhu. Bukan maksud aku selalu jutekin kamu. Kamu bener, aku emang gak bisa nerima kenyataan.” Lirih Evin sembari mengusap air matanya.

Hari itu adalah mimpi terburuk Heaven. Wajah sang kekasih-Dika-terbujur kaku dan pucat pasi. Evin tak henti-hentinya menangis sejak ambulan tiba di rumah Dika. Kain bercorak batik menghiasi tubuh yang tergeletak tak berdaya itu. Kepalanya masih di perban karena luka yang parah.

Pandhu mendekat melingkarkan tangannya kebahu Evin.

“kamu jangan nangis di depan Dika, itu gak baik. Mending kita sama-sama berdoa biar almarhum tenang disana.” Lirihnya berbisik di telinga Evin.

Evin tak menyahut. Disekanya air mata yang sedari tadi melunturkan compact powdernya.

“seharusnya aku gak pernah pacaran sama Dika. Dia meninggal gara-gara aku.” Ucap Evin sesenggukan.

“takdir udah ada yang ngatur, umur seseorang siapa tahu. Mungkin Tuhan berkehendak lain.” Pandhu membetulkan posisi duduknya.

Hari ketiga setelah kematian Dika membuat Evin lebih diam dari sebelum-sebelumnya. Dia adalah gadis yang ceria, enerjik dan ramah. Namun sejak saat itu mulutnya lebih memilih bungkam daripada harus berkata-kata.

Pandhu menghampiri meja Evin. Menyapanya lalu tersenyum.

“kamu kelihatan lebih jelek kalau diem seperti itu.” Pandhu lalu duduk di sebelah gadis berambut panjang itu.

Evin tak menggubrisnya. Matanya masih konsen tertuju pada buku yang ada ditangannya.

Evin tau, bagaimanapun maksud Pandhu adalah ingin menghibur keadaan hatinya. Namun Pandhu datang di saat yang kurang tepat. Evin masih ingin sendiri. Menikmati rasa sakit karena kepergian Dika. Pandhu seharusnya tau itu.

Evin melangkah gontai menyusuri koridor sekolah pagi itu. Dari arah berlawanan Pandhu terlihat sibuk dengan setumpuk buku yang baru saja diambilnya dari ruang guru. Tanpa tersenyum sedikitpun pada Evin, Pandhu melengos begitu saja.

Gak seperti biasanya dia gitu, apa dia masih marah sama aku gara-gara omonganku semalam di pantai? Batin Evin. Merasa ada yang beda dengan Pandhu hari ini. Biasanya Pandhu selalu bercanda padanya atau sekedar tersenyum menandakan kehadirannya.

Kelasnya masih tak terlalu ramai saat dia masuk. Evin melirik ke bangku pojok tempat Pandhu duduk. Mereka memang sekelas tapi jarang sekali mereka bicara. Pandhu tipe orang pendiam dan lumayan menutup diri jadi jarang orang tau bagaimana background kehidupan Pandhu. Hanya Dika lah yang tau semua tentang Pandhu karena mereka bersahabat semenjak di bangku SMP.

Pandhu masih sibuk dengan buku bacaan ditangannya.

Evin merasa tak enak hati. Apa dia harus memulai pembicaraan ini? Menyapa cowok itu?. Ah rasanya tidak mungkin.

Sepulang sekolah gadis itu tak langsung pulang. Dia mengikuti kemana kakinya melangkah. Setibanya di tempat itu di tatapnya pusara yang ada di hadapannya. Tangannya mengusap pelan nisan bertuan itu. Nama itu terukir indah namun menyesakkan dadanya.

Evin tak kuasa lagi membendung air matanya. Akhir-akhir ini dia terlalu cengeng untuk semua hal yang membawanya mengingat kekasihnya itu.

“Dika...aku tau kamu mungkin gak bisa dengar aku. Tapi maafin aku ya...kamu meninggal gara-gara aku. Aku tuh emang gak berguna. Hix..bahkan aku gak mampu jadi pacar terbaikmu seperti yang kamu bilang waktu itu. Dik...kamu udah ingkar janji...kamu...kamu udah bilang bakal nemenin aku, bareng-bareng aku tapi kamu malah pergi ninggalin aku sendiri.” Evin menggenggam tanah yang belum terlalu kering dan meremasnya. Air matanya semakin membanjir.

Cuaca siang itu tak lagi bersahabat. Pasalnya mendung menggelayut meneror dengan suara kilatnya. Sebentar lagi hujan pasti turun. Namun Evin tak sedikitpun berpindah dari tempat itu. Ia masih ingin disitu, menemani Dika.

Tak berapa lama hujan turun. Buliran airnya lincah menerobos rongga-rongga udara. Baju seragam Evin basah kuyup.

“kita pulang.” Pandhu datang tiba-tiba dan mencoba memapah Evin.

“Pandhu?” Evin tersenyum. Ternyata Pandhu gak marah padanya.

“kamu gak perlu menyiksa diri kamu seperti ini Vin. Dika bakal sedih kalau kamu begini. Ini bukan salah siapapun.”

Pandhu melepas jaketnya lalu mengenakannya di tubuh gadis itu.

“biar gak terlalu dingin karena tubuh kamu basah.” Ucapnya singkat. Evin menurut saja apa yang Pandhu ucapkan.

Motor Pandhu melaju pelan menerobos hujan deras di kota Jakarta siang itu. Tangan Evin spontan melingkar di tubuh Pandhu. Mulutnya menggigil karena kedinginan.

Pandhu tersenyum.

“aku balik dulu. Kamu buruan ganti baju kamu, nanti sakit.” Pandhu lalu pergi hingga menghilang dari pandangan Evin. Jaket Pandhu masih membalut tubuhnya.

Aku gak tau apa kamu masih marah sama aku atau gak. Tapi sikapmu sekarang kenapa jadi sedikit dingin ke aku? Pandhu...aku memang gak pantes buat kamu.

Pagi itu Evin kembali ke rutinitasnya-sekolah. Matanya mencari-cari sosok Pandhu setibanya di kelasnya-XII PSIA 4. Namun yang dicarinya tak kunjung muncul juga.

Sepi juga gak ada Pandhu. Evin berusaha menepis batinnya. Apa mungkin perasaan itu muncul kembali? Perasaan yang sempat hadir sebelum dia jadian dengan Dika.

Pandhu hari ini tak masuk. Entah kenapa. Evin khawatir jangan-jangan karena hujan kemarin lalu Pandhu sakit. Evin harus ke rumah Pandhu sepulang sekolah.

Evin mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu rumah besar itu. Namun belum sempat tangannya menyentuh pintu itu seseorang menyapanya.

“Evin?”

Evin menoleh.

“Pandhu? Kamu?”

“kamu ngapain kesini? Nyariin aku?” canda Pandhu. Stelan jeans panjang dan kaos coklat menambah innocent parasnya.

“Cuma mau mastiin aja, aku gak enak kalau kamu sakit gara-gara kehujanan kemarin sama nganterin jaket nih,” Evin menyerahkan jaket itu pada Pandhu.

“aku baik-baik aja kok, ada sedikit masalah jadi tadi gak berangkat. mau masuk?” ajak Pandhu.

“gak usah, kan udah liat keadaan kamu sekarang. Aku balik ya?”

“sebentar Vin. Aku minta maaf ya kalau selama seminggu ini setelah Dika pergi aku jadi kayak pengganggu hidup kamu. Tapi jujur, Dika bilang sama aku dan aku udah janji kalau aku...” belum sempat Pandhu melanjutkan kata-katanya, Evin memotong ucapannya.

“udahlah...gak ada yang salah disini.” Evin berlalu.

Malam itu serasa sepi merayap menghantarkan nada-nada sendu. Entah kegalauan apa yang kini dirasakan Evin. Haruskah dia membuka kembali hatinya daripada terus larut dengan kesedihan ini?. Dia tak bisa mengingkari hatinya kalau perasaan sayangnya ke Pandhu muncul lagi.

Dia harus menemui Pandhu sekarang.

Evin telah bersiap menuju rumah Pandhu.

Sesampainya disana.

“Pandhu? Kamu mau kemana?” tanya Evin yang melihat Pandhu siap pergi dengan motornya.

“kamu? Aku mau pergi. Bisa gak sih kamu gak muncul lagi di depanku? Kehadiran kamu justru buat hati aku sakit Vin.”

“maksud kamu apa?” Evin kaget dengan kata-kata Pandhu yang serasa menohok hatinya padahal maksud dia baik datang ke rumahnya.

“udah Vin. Aku capek, kamu bakalan selalu mikir aku seorang yang buat hidup kamu jadi keganggu.”

“oh...oke...apa sejahat itu pemikiran kamu terhadapku?” air matanya memecah merayapi pipinya.

“mending sekarang kamu pulang Vin.” Tukas Pandhu singkat.

Evin berbalik arah dan berusaha menstop taxi yang lewat. Hatinya sakit dengan kata-kata Pandhu yang begitu sinis menghakimi dirinya.

Namun...

“awas Vin!!!” teriak Pandhu.

Evin mengerjapkan matanya dan melihat ke sekeliling kamar yang tak terlalu besar itu. Bau obat-obatan menyeruak begitu saja. Evin masih duduk disamping Pandhu yang terbaring sejak semalaman karena kecelakaan yang dialami Pandhu saat menolongnya dari mobil yang hendak menabrak Evin.

Evin menggenggam erat jemari Pandhu. Kepala Pandhu diperban karena luka benturan yang cukup serius.

“Pandhu...kamu bangun dong. Kamu bodoh banget sih ngebiarin diri kamu celaka gara-gara aku. Pandhu...pliss jawab aku, aku gak mau kejadian kayak Dika terulang lagi. Aku gak mau kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kalinya.” Evin terisak.

Tangan Pandhu bergerak seolah menanggapi ucapan Evin.

“kamu...kamu sadar Pandhu? Aku mohon jawab aku...” Evin mengusap pelan punggung tangan Pandhu.

“ev...vin...kka..mu ngo..mong apa?” ucap Pandhu terbata-bata.

“gak penting, yang penting kamu sembuh sekarang.”

Pandhu tersenyum. Jemarinya menyambut erat tangan Evin.

Tiga hari kemudian.

Kafe ‘Titan’ malam itu tak terlalu ramai pengunjung. Pandhu memilih tempat yang agak di depan karena pemandangan pantai lebih terlihat indah.

“aku seneng kamu udah masuk sekolah lagi tadi,” kata Evin seraya mengaduk-aduk jus capucinnonya.

“aku juga karena itu artinya aku bisa lihat kamu senyum. Oya kamu tahu apa yang Dika ucapkan terakhir kali sama aku?” tanya Pandhu.

Evin menggeleng.

“dia minta aku supaya ngejagain kamu kalau dia pergi karena dia tahu aku sayang banget sama kamu.” Ucap Pandhu pelan.

“aku juga sayang kamu Pandhu. Pantes aja kamu berusaha buat deketin aku akhir-akhir ini.” Evin tersenyum. Pandhu tersenyum kembali seraya tangannya mengacak-acak rambut Evin.

“PD banget kamu. Kamu kan tahu dari dulu aku udah sayang sama kamu tapi kamu lebih milih...”

“ssstt..udah lah, eh bentar ya,” Evin beranjak dari kursinya.

“mau ngapain Vin?” tanya Pandhu heran.

“request lagu.” Ucap Evin pendek.

Tak lama dia berbalik dan kembali duduk.

“lagu ini buat kamu Pandhu,” lirih Evin. Pandhu menautkan alisnya.

Kau datang padaku saatku luka

Luka dengan sejuta kecewa

Yang hempaskan tubuhku..remukkan dada

Namun lembut belaimu..balutkan luka

Kau kecup bibirku saatku muak

Muak dengan sesaknya asmara

Yang membuatku muntah..lepaskan dendam

Namun hangat bibirmu..redakkan duka

Maafkanlah aku...acuhkan dirimu

Waktu pertama kali tersenyum padaku

Maafkanlah aku...jejali dirimu

Dengan segala kisah sumpah serapahku

Lagu SLANK mengalun merdu bersautan dengan deburan ombak.

Maafin aku Pandhu sempat gak mempercayaimu...aku sayang kamu. Batin Evin.

@TiyasWidyastuti