follow me Kakaa

Selasa, 12 Februari 2013

Bintang Senja


Aku tidak pernah tau bagaimana caranya memulai. Aku mengenalnya dulu, bertahun-tahun yang lalu, namun aku pastikan aku tak benar-benar mengenalnya. Cinta pertama atau cinta monyet apapun itu. Siapa yang menyangka dialah cinta pertamaku, aku menyadarinya tapi percuma. Hanya sebuah cerita klasik masa putih-biru di dalam sebuah kisah hidupku.
Dia tak terlalu spesial. Tapi kenyataanya? Satu, dia benar-benar membuatku tertarik dan benar-benar menyukai cowok urakan macam dia. Dua, dia berbeda dengan cowok lain, meski tak istimewa tetapi dia unik, seenaknya sendiri, masa bodoh dengan aturan. Dia selalu merasa hidup adalah anugrah dan dia harus bisa menikmatinya tanpa orang lain atur. Tiga, terlepas dari itu semua, dia adalah cowok terpandai di kelas bahkan ranking paralel tiap semesternya. Ini yang selalu membuatku iri bagaimana bisa cowok model “semau gue” tapi cemerlang otaknya.
Hmm..kisah lalu, empat atau lima? Yah, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tapi sekarang, bahkan aku tak lagi melihat wajahnya sejak wisuda SMA-ku. Aku mengenalnya sejak pertama kali masuk sebuah sekolah menengah pertama di kotaku. Begitu banyak kisah tentangnya.
Tiga tahun masa SMP ternyata sangat singkat. Aku selalu satu kelas dengannya. Akrab? Boro-boro, mungkin hampir satu angkatanku tau jika kami itu musuh bebuyutan. Lucu memang, tapi memang dia itu suka cari perkara dan masalah dengan siswa lain. Bahkan semua guru hapal dengan kelakuan kami karena bolak-balik dipanggil oleh BK.
Masa putih-abu-abu. Aku satu sekolah lagi dengannya namun tak pernah satu kelas. Aku sering memperhatikannya dari jauh, ke perpus namun memutar jalan melewati kelasnya untuk sekedar memastikan dia ada atau tidak di kelas. Ke kantin khusus cowok hanya untuk melihatnya tertawa bercandaan dengan kawan satu gengnya.
Ada hal lain yang selalu membuatku menertawai diriku sendiri. Aku selalu menjadi bulan-bulanan guru BK di SMA juga karena selalu saja terlambat masuk sekolah. Aku selalu masuk lewat gerbang utama, bukan lagi gerbang khusus sepeda motor. Alasannya tak lain adalah agar selalu bertemu dengan cowok itu, karena diapun langganan terlambat. Setiap pagi, pastilah kami dan siswa lain yang terlambat harus berhadapan dengan guru BK. Namun aku tak pernah menyesalinya, keuntungannya toh aku bisa selalu melihatnya dari dekat.
Anggi adalah satu-satunya sahabatku hingga sekarang yang tau tentang cinta pertamaku itu. Dia pula yang selalu mendorongku untuk mengungkapkan perasaanku ini ke cowok rese itu.
“Lo yakin gak akan pernah ngomong ke dia? Enam tahun lo pendam perasaan lo ke Genta, ini masa-masa terakhir kita di SMA, mungkin ini saat-saat lo bisa sering ketemu dia. Kalo udah kuliah? Apa lo yakin juga lo bakal satu kampus satu jurusan satu kelas sama dia? Plis Del, lo bukan anak kecil lagi, apa susahnya sih?” ucap Anggi suatu hari.
Perpus siang itu cukup sepi karena bel istirahat kedua selalu menggiring seluruh penghuni kelas untuk menyambar menu makan siang atau sekedar pengganjal perut di kantin ataupun koperasi siswa. Aku sendiri masih sibuk memilah-milah buku yang akan ku pilih untuk bahan referensi karya ilmiahku sebagai tugas akhir menjelang UN.
“Delia, lo dengerin gue ngomong gak sih?” gerutu Anggi sekali lagi. Ensiklopedi cukup besar ditangannya ditutupnya dengan keras.
“ssst..bisa dimarahin penjaga perpus ntar?” omelku lirih. Aku memicingkan mata ke arah Pak Gus, penjaga perpus yang tampangnya macam Pak Raden tapi orangnya sih baik.
“Del, sumpah ya. Entah lo ini waras atau enggak, gue aja yang Cuma ngikutin tingkah aneh lo capek. Lo kerjaanya itu kepo mulu segala-gala tentang Genta, inget lo waktu SMP aja macem tom and jerry, kagak ada akurnya.”
“ya kan lo tau, sejak SMA gue mana pernah sekelas, satu-satunya cara ya gue jadi...”
“stalker!” sahut Anggi.
“cerewet. Udahan yok! Udah nih,” sambungku sembari menenteng tiga buah buku tentang autisme.
“Del, kenapa lo gak add fesbuk dia atau follow twitter dia, kan malah lebih gampang,” celetuk Anggi.
“GILA!!! Yang bener aja lo, dia musuh gue, sekali musuh tetap musuh, bisa jatuh harga diri gue!” nada suaraku meninggi. Pak Gus yang sedari tadi asik dengan korannya rupanya mendengar suaraku dan ber-sst ria ke arah kami. Sial!


Sejak hari itu aku selalu berpikir. Gimana kalau kami sudah kuliah nanti? Aku tak satu kampus dengannya. Aku tak lagi melihat Genta. Tidak pernah mengamati senyumnya lagi, tingkah urakannya, sikap cueknya, wajah coolnya. Aish!
Hari itupun tiba. Ya! Saat-saat terakhir masa-masa SMA. Wisuda pelepasan siswa. Aku selalu berusaha menepis bahwa ini adalah terakhir kali aku melihat wajah dan senyumnya. Aku percaya takdir, sangat percaya, tapi aku tak pernah percaya dengan suatu kebetulan. Menurutku sebuah kebetulan adalah rangkaian takdir yang sudah diatur. Cuma orang-orang saja selalu salah persepsi, entahlah.
Aku percaya takdirku. Jika suatu hari nanti aku bertemu dengan Genta, itu bukan suatu kebetulan melainkan bagian dari sebuah takdirku, Delia Cahya Tunggadewi.


Cafe Dezz terlihat sangat ramai sedari siang. Antrian pengunjung tak lagi mengular seperti sebelumnya. Aku mendongakkan wajahku ke orang-orang di depanku yang dari tadi tak juga lelah menanti giliran. Bolpoin ditanganku bahkan tak hentinya disibukkan dengan buku-buku yang terus saja disodorkan oleh orang-orang itu. Ffiuh!.
Aku menghela napas dan menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi. “yep! Antrian kelar!” lirihku.
Baru saja aku mengistirahatkan tubuhku, ponsel di saku jeansku sepertinya tak rela melihat majikannya bersantai sejenak. Suara Taylor Swift dengan Love Story-nya membuatku bergeming dari tempat dudukku.
“Halo, Hai Nggi,” sapaku. Aku melepas kacamata minusku.
“Haiii Del, gimana gimana? Sukses dong acara Launching novel pertama lo?” ucap Angggi penuh semangat.
“Alkhamdulillah, sepertinya iya, hahaha..jadi kapan lo balik? Salam buat nenek lo ya? Semoga cepet sehat,”
“lusa deh kayaknya, sorry nih Del, sebagai sahabat terkeren lo tapi di acara penting lo malah gue gak dateng, nyesel banget deh,”
“santai dong beb, operasi nenek lo lebih penting kali, oya, oleh-oleh dari Jogja jangan lupa! Hahaha..” sergahku.
“hahaha, lo pikir liburan gue liburan? oke deh, gue beliin lo oleh-oleh tapi gue gratisin satu buku lo beserta tanda tangan lo. Sekarang kan tanda tangan lo mahal,” kelakar Anggi.
“wuuu...bisa aja, siip deh! Yaudah, baik-baik disana ya,”
“siip! Bye Delon!”
“Deliaaaa Nggi!”
“iya Del..bye!”
“bye!”
Klik!
“aish! Selalu aja manggil seenak udel.” Gerutuku.
“permisi, masih bisa minta tanda tangannya Mbak Delia?” sapa sebuah suara.
Aku mendongakkan wajahku ke sosok di depanku. “boleh,” sahutku.
Entah, apa aku mimpi, antara percaya dan tidak. Benarkah cowok ini?. Aku memakai kacamata yang sempat aku lepaskan tadi.
“Genta?” itulah kali pertama aku menyebutkan namanya langsung di depan orangnya sejak bertahun-tahun lalu.
Genta mengangguk lalu tersenyum. Kali ini bukan Genta yang aku kenal dahulu. Entah kemana kesan urakannya. Kaos merah dipadu jaket putih dan sepatu kets putih menambah kesan innocent cowok itu.
“punya waktu sebentar Mbak?” ucap Genta.
“mm...maksudnya?” jawabku gugup.
“hanya ingin mengajakmu minum sebentar sekalian interview,” sahutnya.
Akupun mengiyakan namun sebelumnya meminta izin ke orang EO untuk keluar.


Tempat yang kami datangi lumayan nyaman dan tak terlalu ramai. Genta memilih tempat yang agak jauh dari pintu masuk restorant. Viewnya juga indah. Sebuah bukit kecil nan hijau terlihat menyejukkan dan memanjakan mata pengunjung.
“jadi, mau pesen apa? Jus jambu?” tanya Genta.
“What? Bagaimana kamu tau? Tapi okelah, makannya samain aja deh.” Sahutku.
Aku melemparkan pandangan jauh ke arah perbukitan. Sesekali tatapan mata kami beradu dan membuatku salah tingkah. Entah, padahal perasaan ini sudah lama namun masih tetap sama rasanya. Sudah dua kali aku pacaran dan putus. Namun, aku tidak pernah merasakan perasaan ini dengan dua pacarku sebelumnya. Dan aku sadar, perasaan ini masih sama dan utuh untuk Genta.
Pelayan restopun kembali membawa pesanan kami.
“jadi, sekarang sudah sukses dong ya jadi penulis,” Genta memulai pembicaraan kami pada akhirnya.
Aku tersipu malu mendapat pujian dari Genta.
“biasa aja, lagian ini kan kali pertamaku Ta,”
“setidaknya cita-citamu jadi penulis tercapai dong ya?”
“cita-cita? Bagaimana kamu tau?” pertanyaan itu kembali terlontar dari mulutku.
“gimana ya?” Genta hanya tersenyum menatapku sembari mengaduk-aduk Capuccino-nya.
“oya, kamu kerja dimana?” tanyaku mengabaikan pertanyaan pada Genta sebelumnya.
“sejak lulus sarjana dua tahun lalu, aku masih bantu ayah di kantornya.”
“oya? Bisnisman dong ya,”
“kamu sendiri?”, “aku kerja di sebuah perusahaan sebuah tabloid terkenal disini, ya sekalian nyalurin hobi jadinya. Passion­-ku udah aku dapetin disitu.”
Genta mengangguk. “jadi, Senja gak bisa bersatu dengan Bintang ya endingnya? Sayang sekali loh Del,”
Aku tersentak. Genta menyebutkan dua nama tokoh dalam novelku.
“hmm..Bintang hanya bisa dilihat, terlalu susah untuk diraih,” aku tersenyum.
“kalau suatu hari kebetulan mereka bertemu, balik lagi saling jatuh cinta gimana?”
“tidak ada sebuah kebetulan Ta, semua adalah takdir. Yaa..Bintang kan sudah menghilang, jika takdir akhirnya mempertemukan mereka...”
“happy ending?” sergah Genta.
“Genta..” ucapku.
“Del, terlepas itu takdir atau kebetulan, cinta sejati apa kamu percaya?”
“entahlah,” aku  menggeleng.
“bahkan mungkin ini kedengarannya bakal lucu. Well! Aku udah lama memperhatikan kamu Del, dari jaman kita SMP. Kita memang sering berantem, tapi itu sanyalah salah satu cara agar aku bisa terus deket sama kamu. Karena..”
“karena??”
“karena aku selalu gak punya keberanian buat bilang ke kamu,”
“jadi...”
“ya! Aku suka sama kamu, udah dari dulu, aku tau kamu suka jus jambu karena kamu selalu memesannya di kantin tempat nongkrong cowok-cowok. Aku tau cita-citamu jadi penulis, aku selalu membaca cerpen atau buletin mingguanmu yang kamu tempelkan di mading sekolah. Yaah..konyol memang,”
“jadi selama ini gak Cuma aku yang stalk kamu dong ya?” aku keceplosan membeberkan aibku sendiri pada Genta.
“maksudnya? Jadi...” seru Genta.
Aku kembali tersipu malu.
“Genta, apa Bintang yang selalu diharapkan Senja bakal ditakdirkan bertemu dan kembali bersama dengan kisah yang lain?” tanyaku.
“mungkin,” Genta tersenyum dan perlahan meraih tanganku.
Mataku bersaput mendung, perasaanku meledak-ledak bahagia. Aku percaya ini takdirku. Hari ini Tuhan memberikan dua hadiah terindah. Cita-citaku hari ini terwujud dan novel pertamaku berhasil terbit. Hadiah kedua dan terindah adalah cinta pertamaku, Genta, hari ini takdir mempertemukan kami.
“jadi...tetep sad ending?” ucap Genta menggoda.
“hmmm...bakal jadi Dwilogi, novel kedua gimana? Senja dan Bintang bersatu.” Aku tertawa renyah. Genggaman kedua tangan Genta semakin erat.
Aku kembali melemparkan pandanganku ke perbukitan. Angin berdesir menerbangkan dan membelai rambut panjangku. Aku menatap Genta kemudian. Cowok itu bukan lagi anak SMP atau SMA yang aku kenal beberapa tahun lalu, dia juga bukan musuh bebuyutanku lagi. Dia adalah cowok dewasa sekarang.
“kamu terlihat manis dengan kacamatamu sekarang,” ucap Genta.
“kamu memuji atau menggodaku?” cibirku.
“mensyukuri anugrah Tuhan,” lanjutnya disusul tawa kami berdua.
Kebetulan tak akan pernah datang jika semuanya bukan karena takdir dan suratan Sang Kuasa. Hmm..ini bukan tentang kebetulan dan takdir, ini tentang cinta pertamaku. Segalanya dimulai dengan unik, meninggalkan kenangan manis dan berakhir dengan sebuah senyuman bahagia karena terwujudnya harapan akan penantian yang sangat panjang.


#&^%&%$%#%^^$^ :)

@TiyasWidyastuti

2 komentar:

  1. selamat malam

    kunjungan perdana

    BalasHapus
    Balasan
    1. tengkyu Kakaa..
      ditunggu kunjungan selanjutnya juga komennya, :)
      happy reading..

      Hapus