follow me Kakaa

Kamis, 24 Januari 2013

53 Menit


Aku mulai menikmati kesibukan yang menyertaiku tiap pagi. Perlahan fajar menyingsing menggantikan peran sang malam. Sahutan kicau pipit semacam pertanda absen kedatangan mereka. Pukul 6 kurang 15 menit aku telah siap dengan setelan jas biru donker dengan kemeja putih berenda. Memasangkan sebuah bros biru muda adalah sentuhan terakhir dan taraaa...aku siap!
Seperti biasa, aku telah hapal dengan jadwal bus besar antar kota yang selalu membawaku ke tempat tujuan. Tak berapa lama bus besar dengan dua pintu itu tampak menyorotkan lampu kearahku, lampu sign kiri tampak berkedip dan yap! Dengan susah payah karena heels 7 sentiku akupun berhasil menjejakkan kakiku di dalam bus. Entah kenapa meskipun harus pelan dan tak bisa berlari cepat jika harus mengejar bus tapi aku suka dengan sepatu ber-heels lumayan tinggi. High heels selalu membuatku lebih percaya diri meskipun itu artinya aku akan lebih terlihat jenjang dengan tinggi tubuhku 168 cm.
Sial! Selalu penuh dan jarang sekali mendapat tempat. Terpaksa berdiri lagi? Ah! Keluhku. Aku merapat kedepan mencoba mencari celah, bau parfum bercampur asap rokok menyeruak begitu saja. Oke sekali, perjalanan satu jam ini akan kembali aku ‘nikmati’, batinku lagi. Kebanyakan penumpang bus adalah langganan, para pegawai, pekerja kantoran, guru, anak-anak sekolah.
“mbak duduk sini,” celetuk sebuah suara. Aku melirik sekilas, tanpa terlalu peduli aku hanya mengukirkan senyum 2 senti ke kiri dan 2 senti ke kanan seperti yang pernah aku tau dari sebuah seminar ESQ, aku lalu mengambil tempat duduk yang sudah beralih hak padaku. Akhirnya...
“thanks,” ucapku pendek.
Cowok sebelahku menatapku ramah. Wajahnya tampan, aku menerka umurnya kira-kira 25 tahun, sekitar itu. Tubuhnya tinggi atletis.
“Unik.” Ucapnya kembali. Deg! Aku terhenyak, bagaimana mungkin dia bisa menyebutkan namaku. Bahkan aku tak mengenal manusia asing ini.
Dahiku berkerut nyaris menyatu. Kembali melirik, tergelitik rasa penasaran aku memberanikan diri untuk bertanya.
“tau nama saya?” tanyaku. Wajah itu kembali menoleh mengukirkan sebuah senyum manis diwajah bersihnya, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.
“hanya menebak, golongan darah AB?” ucapnya lagi.
Sial! Ini apaan sih orang? Batinku mulai penasaran, bagaimana mungkin dia tau bahkan golongan darahku. Apa jangan-jangan diapun tau ukuran sepatuku, ukuran jeansku. Huhh!
“anda siapa?” aku kembali menautkan alisku, semakin terdorong rasa penasaran amat sangat.
“Dylan!” ucapnya pendek selalu disertai ukiran senyum yang mempermanis wajah tampannya.
Aku menerima uluran tangannya.
“entahlah, aku gak mudah tertarik dengan seseorang, tapi jika ada orang yang membuatku tertarik dengan mudah aku bisa tau namanya bahkan seperti tadi, golongan darahmu,” tawanya pecah seketika. Aku semakin heran. Kualihkan pandanganku keseluruh penumpang bus, tak terlalu ada yang memperhatikan percakapan aneh kami.
“saya gak ngerti maksud anda,” aku masih memperhatikan wajahnya.
“kamu unik, berbeda dari yang lain. Aku juga gak tau kenapa, ini hari kelima aku memperhatikanmu dan kesempatan bisa ngobrol sama kamu malah baru sekarang” Dylan kembali tersenyum. Ah orang ini benar-benar membuatku frustasi. Aku baru saja mengenalnya namun kata-kata yang keluar dari mulutnya justru membuatku luluh.
Unik! Plisss! Kamu mau kemakan omongan orang asing ini? Batinku kembali berdebat dengan akal sehatku yang sempat tidak bisa menerima kebetulan aneh ini.
“kerja dimana?” tanyanya. Aku yang sedari tadi bengong sempat kaget. Perjalanan masih panjang rupanya, tapi kenapa aku menikmati duduk bersebelahan dengan orang ini?
“di Bank Suasta.” Jawabku, “sorry, kenapa kamu aneh banget, kita baru loh ketemu dan bicara, tapi tanpa tedeng aling-aling kamu bilang kayak tadi, kamu gak lagi sakit kan?” entah apa yang membuatku bertanya konyol macam itu. Astagaa...
Aku merasakan desir aneh. Ritme jantungku tak teratur, buliran keringat muncul membasahi pelipisku. Ah, kenapa jadi deg-degan begini. Aku melirik cowok itu pelan, berharap dia tak menangkap basah pandanganku. Dia mengenakan jaket kulit coklat tua, Kemeja biru muda dipadu dengan dasi bermotif luriknya tersembunyi dibalik jaket yang melekat ditubuhnya, dia membuatku kembali salah tingkah.
“aku bingung mau ngomong apa, kali ini aku benar-benar suka sama seseorang dan itu kamu. Percaya cinta pada pandangan pertama? Itulah yang aku rasakan pertama kali melihatmu.” Ucap Dylan. Ah, senyum itu lagi. Cukup Dylan, kamu aneh! Umpatku.
“bagaimana kita bisa bertemu lagi?” entah partikel-partikel keberanian darimana yang aku dapatkan sehingga kata-kata itu meluncur deras dari sela bibirku.
Begooo Unik! Sergahku dalam hati.
“sorry,” lanjutku pelan. Aku yakin mukaku memerah macam kepiting rebus. Dylan sempat terkikik. Rasa canggung serasa menghinggapi rasa percaya diriku.
Aku berusaha mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menelusup ke relung kalbu secara perlahan. Dylan lagi-lagi memperhatikanku. Pandanganku terhenti pada kaca bus yang mulai basah. Gerimis baru saja menitik. Buliran airnya beradu dengan kaca bus, aku semakin larut dan asik menikmati hujan.
Aku melirik perlahan jam tanganku. Beberapa menit lagi sampai ke kantorku.
“hujan lumayan deras, kamu bawa aja ini. Oya, ini kartu namaku, aku harap ini bukan pertemuan kita terakhir. Aku suka kamu.” Dylan menyerahkan sebuah jaket kulit coklat tua yang ia lepaskan sebelumnya. Kemeja biru mudanya lebih memperlihatkan kegagahannya.
“mata kamu ngasih tau aku kalo kamu juga tertarik denganku, benar begitu?” kata-kata Dylan semacam peluru yang melumpuhkan rasa percaya diriku. Ingin rasanya aku menghilang tiba-tiba dari hadapan cowok aneh ini. Ah, dia menebak dengan tepat. Sial!
Aku menerima jaket itu dan tentu saja kartu nama yang ia selipkan di saku jaketnya. Jujur, dengan perasaan penuh harap, harapan yang teramat sangat untuk dapat melihatnya kembali.
“berharap saja tebakanmu terkahir kali benar, atau aku akan berpikir seribu kali dengan ucapan dari cowok aneh yang telah membuatku luluh dengan kata-katanya.” Aku tersenyum lalu bergegas turun.
Hujan semakin liar saja, berkejaran untuk sampai ke bumi. Aku memayungi tubuhku dengan jaket kulit Dylan tak mungkin juga aku memakainya karena tubuhkupun sudah terbalut dengan jas. Semerbak aroma parfumnya sungguh sangat sedap. Ah Dylan, kenapa aku harus bertemu kamu.


Perasaan resah sedari siang tadi kembali melanda. Dylan benar-benar membuat perasaanku hari ini berantakan. Aku memandangi jaket yang telah terlipat rapi dikasurku. Malam memancarkan pesona bintang yang tak lelah berkedip semacam menyapaku yang terus saja memandangi mereka dibalik jendela kamarku.
Dylan Anugrah Wijaya. Aku mengeja deretan kata-kata di kartu nama itu. Nomer hape yang tertera di kertas putih itu sudah sejak siang nangkring di phone book hapeku.
Tanganku tak hentinya memainkan hapeku. Sms tidak sms tidak sms tidak.
Aku memberanikan diri serat meyakinkan bahwa tindakan yang aku lakukan tak salah. Dylan pasti ke-geeran. Ah bodo amat deh.

To : Dylan
Ini nomerku, Unik, makasih buat jaketmu pagi tadi, berguna banget kok.
Aku harap kita bisa satu bus lagi besok, aku pengen balikkin jaket kamu.
J

Aku deg-degan sendiri dibuatnya. Apa yang baru saja kulakukan?. Apa yang akan Dylan pikirkan tentangku coba? Aku meremas guling bermotif real madrid-klub favoritku.
Tak berapa lama, nada pesan masuk memecah kegelisahanku.

From : Dylan
Aku jadi orang paling galau hari ini, aku pikir kamu gak akan pernah sms aku.
Aku janji, kita pasti ketemu besok. Jaket itu kamu simpan aja.
Aku suka kamu. Ini kali ketiga aku ucapkan, mungkin kamu berfikir aku cowok gila.
Aku gila karna kamu Unik.
J

Aku kaget menerima balasan tak terduga itu. Aku melonjak-lonjak kegirangan layaknya gadis cilik yang mendapat boneka Barbie baru. Aku mengulangi membaca sms Dylan baru saja. Sekali dua kali tiga kali, puluhan kali. Aku stres! Aku akui itu. Tubuhku terasa sangat capek hari ini namun aku hanya bisa memandangi jaket coklat tua milik Dylan. Sepertinya guling kesayanganku malam ini tergantikan posisinya untuk kupeluk.
“sumpah ini cowok aneh tapi sukses buat jantungku mau copot,” ucapku sendiri.
Malam itu aku saling berbalas sms dengan Dylan. Cowok aneh, ketemu kali pertama di bus, bilang suka, bikin frustasi dan sukses membuat malamku berantakan karena pikiranku kacau gara-gara dia.


Hari ini aku serasa lebih segar. Seragam batik kantor aku kenakan. Hari ini adalah hari Jumat. Aku berharap dia muncul lagi. Satu bus lagi dan aku bisa bisa lebih lama lagi mengobrol dengannya.
Aku sudah berdiri di halte tempatku menunggu ‘jemputanku’. Beberapa menit lagi bus itu pasti sampai.
Aku menarik napas panjang lalu menghelanya. Pagi cukup segar, kondisi cuaca dan hatiku sinkron. Sama-sama cerah ceria. Aku tersenyum sendiri membayangkan kekonyolanku. Ada banyak pertanyaan yang bakal aku lontarkan jika bertemu cowok aneh itu.
Bus melaju pelan mendekatiku yang sudah mengambil ancang-ancang untuk segera naik.
“hay Mbak,” sapa pak kondektur yang mulai hapal denganku.
“pagi Pak! Semangat!” aku mengepalkan tangan kananku dan mengangkatnya. Pak kondektur membalasnya dengan tawa ringan.
Begitulah caraku menyapa setiap orang. Aku bukan tipe orang yang ingin dikenal orang lain dengan kesan pertama yang angkuh. Aku selalu menunjukkan kepada mereka bahwa aku ini berbeda, aku tak seperti kesan kebanyakan orang yang terlihat macam eksekutif muda sukses atau pegawai yang sombong.
Aku mencari tempat kosong. Tak berhasil, selalu, semuanya penuh. Kuedarkan pandanganku kesemua penumpang bus, wajah itu tak juga kujumpai. Bahkan senyumnya yang ingin sekali kulihat tak juga muncul. Dylan, kamu dimana? Resahku. Senyum yang sempat membuatku berharap hari ini bakal ketemu pudar begitu saja.


Hari kamis waktu itu, 53 menit itu berlalu penuh arti. Kali pertama dan akhir dari sebuah pertemuan. Dylan, si cowok aneh yang muncul tiba-tiba kini menghilangpun tiba-tiba. Aku tak menemukan alamat rumah ataupun kantornya di kartu nama yang diberikannya kala itu. Hanya nomer ponsel yang sampai sekarangpun non aktif jika kucoba hubungi.
Bulan kedua sejak 53 menit itu. Di bus antar kota yang membawaku ke tempat kerja. Hanya jaket kulit coklat tua ini yang menjadi kenang-kenangan antara kami. Mungkin suatu saat nanti aku bisa menemuinya lagi, tetapi entah dimana bahkan sang waktupun tak bisa menjawabnya. Jembatan waktu-ya!, aku ingin sekali saja bertemu dan menyapanya, menatap wajahnya dalam-dalam dan membiaskan senyum terindah di wajahku untuknya, untuk dia yang sekali datang dalam hidupku dan sekali itu pula memberi arti tersendiri di celah relung kalbu.



~~Tewe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar