follow me Kakaa

Selasa, 27 November 2012

Kopi dan Senja

Senja semakin menua. Siluet jingga menggelayut malas di cakrawala luas. Suara burung entah apa namanya menyumbang ramai jalan setapak di sebuah desa sore itu. Pohon pisang maupun mangga dan beberapa lainnya semacam pagar yang berderet rapi di kanan-kiri jalan.
Langkah kecil itu semakin terseret, serasa malas namun rutinitas menuntutnya. Dokter muda itu menenteng tas hitamnya. Sepatu ketsnya sedikit nyentrik berwarna merah bergaris biru muda, jilbab abu-abunya sedikit berantakan karena keadaan sore dan pastinya ia lelah seharian melayani pasien di puskesmas sebuah desa terpencil di pinggiran kota Semarang.
Langkahnya terhenti seketika. Pemandangan dengan sebuah rumah mungil sederhana dengan bohlam 5 watt menyala di beranda beralas tanah, sungguh menyita perhatiannya. Kakinya menuntunnya untuk memasuki pekarangan yang tak terlalu luas yang di tumbuhi bermacam-macam tanaman.
“Sore Dokter Dan!” sapa ramah gadis cilik itu membuat sang dokter mengukirkan senyum seketika.
“Assalamualaikum Lis,” sapa dokter Dan, masih tersenyum lalu duduk di sebuah bangku panjang menjejeri gadis yang dipanggil Elis.
“baru pulang Dok?” tanyanya, tangannya mengaduk pelan kopi pahit dihadapannya.
“Kak Danila Lis, jangan panggil Dokter dong,” sergah Danila.
“Elis kan Cuma panggil Kak Dan kalau Kak Dan lagi gak pakai baju seperti ini, kalau pakai baju putih kaya gini ya panggil Dokter, hehehe” gadis 9 tahun itu tersenyum lugu. Menggelitik Danila untuk mengacak-acak rambut hitam sebahunya.
Elis, gadis kelas empat SD itu sangat unik. Kebiasaannya setiap menjelang senja itu membuat Danila bertanya-tanya. Tepatnya tiga minggu yang lalu sejak Danila pindah tugas di puskesmas desa ini.
Gadis cilik itu hanya tinggal serumah dengan neneknya yang hampir berumur 70 tahun. Menurut cerita neneknya-Nek Ida- Ayah Elis meninggal sejak Elis masih 8 bulan dalam kandungan ibunya. Ibunya sendiri adalah seorang TKI yang bekerja sejak 3 tahun yang lalu di Malaysia.
Ya, kehidupan sederhana keluarga Elis menuntut ibunya bekerja menjadi TKI di luar negeri. Bagaimana mungkin negeri yang kaya dan sejahtera seperti Indonesia ini masih banyak pedesaan kecil yang masih sangat membutuhkan tenaga medis, sekolah-sekolah yang tak layak pakai, serta lapangan pekerjaan yang teramat sangat minim. Padahal, disana-sini, di daerah ibu kota masih ada saja tikus-tikus tak berhati yang hobi menggerogoti negara.
Andai saja Danila bisa berbuat banyak.
“Kak dokter! Kok bengong, Elis masuk dulu ya, udah hampir maghrib,” seru Elis membuyarkan lamunan pendek Danila.
“eh iya Lis, kakak juga pulang dulu ya, salam buat nenek kamu, Assalamualaikum,” Danila melangkah meninggalkan gadis itu. Elis masih berdiri di beranda lalu melambaikan tangannya.
Danila melangkah terburu. Tampak bebatuan di depan rumah Elis yang menghitam. Jelas sekali itu akibat tumpahan kopi yang setiap hari dibuang ke batu-batu yang tersusun abstrak sebagai jalan setapak.
Suara adzan maghrib berkumandang, menyejukkan hati yang lelah, pikiran yang penatpun serasa damai kala panggilan sang Illahi menyeru memanggil umatnya untuk menghadap sang Empunya alam semesta.


Danila masih berbaring malas di tempat tidur sebuah ruangan kecil tempatnya kos. Dulu, sewaktu di Bandung, rumahnya sangat bagus berderet megah di komplek perumahan elit. Hidupnya sedari kecil bersama dua kakaknya seperti tak mendapat masalah. Flat. Datar. Dia tergolong anak yang pandai. Dari TK hingga SMA selalu mendapat peringkat di kelasnya. Bahkan waktu mendaftar kuliah, dia bisa lolos di SNMPTN dan masuk universitas favorit pilihannya.
Pikiran-pikiran itu seperti berterbangan di langit-langit kamar bercat putih itu. Memori otaknya kembali melayang pada kejadian sore tadi. Elis. Gadis itu selalu membuatkan secangkir kopi hitam dengan resep andalan ibunya yang selalu ia ceritakan.
“kopi ini enak loh kak, hangat dan manis, kata ibu kesukaan dia satu sendok teh kopi dan tiga sendok teh gula.”
Danila tersenyum geli. Elis tidak pernah tau kapan ibunya yang selalu ia nanti tiap menjelang senja itu akan kembali. Menurut neneknya dan beberapa tetangga, ibu elis sempat mengirimkan surat sebulan yang lalu yang berisikan bahwa dia akan kembali ke Indonesia karena kontrak kerjanya sudah selesai.
Hal itu tentu saja membuat elis kecil bahagia dan secercah harapanpun selalu menyelimuti wajahnya setiap hari. Harapan dari 3 tahun yang lalu. Dia ingin sekali melihat ibunya, ingin memeluknya dan mencium ibunya. Begitu cerita elis suatu hari.
Henfon di meja rias berteriak nyaring mengalihkan perhatian Danila. Tangannya meraih seketika. Ah sebuah pesan masuk. Pikirnya. Nama seorang cowok mampir di layar henfonnya.
Danila tak menghiraukannya. Seperti biasa, Adin, pacarnya sejak lima bulan yang lalu. Perempuan itu melirik jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 11 malam. Lelah dan kantuk semakin menyerang. Ah lebih baik tidur dan siapkan fisik lebih untuk esok hari.
Mata itu pelan-pelan terpejam. Menyambut dimensi mimpi tanpa batas. Sejenak meninggalkan penat dari dunia yang setiap hari ia jalani. Mimpi, akankah sejenak singgah?


Sang surya kembali bertengger di ufuk timur. Menyapa dengan senyum hangatnya. Burung-burung kembali berceloteh nyaring. Danila bergegas ke puskesmas desa tempat ia praktik. Jalanan desa sudah mulai rame dengan lalu lalang penduduk. Motor-motor yang dengan modifikasi knalpot ala anak muda desa sungguh memekakan telinga. Sungguh kurang sopan, batinnya.
Dokter 26 tahun itu selalu tersenyum ramah tatkala bertegur sapa dengan penduduk desa. Alhasil, keberadaan Danila sering membuat orang disekitarnya merasa nyaman dan senang.
Danila terhenti sejenak. sebuah suara memanggil namanya. Ia menoleh seketika. Tampak seorang Ibu berkain batik melambaikan tangannya dan berlari kecil mendatangi Danila.
Danila tersenyum dan sedikit mengerutkan keningnya. Ada apa dengan ibu ini?. Pikirnya.
“ada apa Bu? Ada yang bisa saya bantu? Siapa yang sakit?” tanya Danila ramah.
“bukan Dok, itu si ibunya Elis, ehm..anu..dia..” Ibu paruh baya itu tambak gugup, terlihat sekali nada bicaranya gemetar.
“iya Bu, kenapa?” Danila semakin penasaran.
“Ibunya Elis tadi pagi dibawa ambulan dari Jakarta, dia meninggal Dok, ayo kita kesana,” secepat kilat si ibu membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Danila yang syok dengan kabar duka itu.
“Innalillahi wainnailaihi roji’un” lirihnya pelan. Dia melangkahkan kakinya mengikuti arah ibu tadi yang sudah cukup jauh meninggalkannya.
Tak berapa lama sampailah dia di sebuah rumah yang hampir setiap sore ia kunjungi. Matanya tak dapat lagi menyembunyikan sedihnya. Kedua bola matanya bersaput mendung. Bagaimana mungkin Elis akan menerima ini?. Ia merasakan hancurnya hati Elis meskipun ia belum pernah bertemu dengan ibunya sekalipun. Ah malangnya gadis cilik itu.
Danila memasuki rumah mungil itu. Tampak disana-sini tetangga yang mulai berdatangan. Bendera kuning yang terpasang tampak menyayat hati.
Inikah perjumpaan terakhir itu? Inikah pertemuan yang menjadi suratan takdir? Inikah pemupus harapan Elis? Mengapa Tuhan?. Pertanyaan itu berkecamuk dalam hati Danila.
Danila mendekati Nek Ida yang tersedu sedari tadi menatap wajah anaknya untuk terakhir kali. Danila yakin, harapan nek Ida sebesar harapan Elis, membayangkan Ratna, anaknya akan kembali dan berkumpul dengan keluarga kecilnya.
Perempuan itu mendekat dan sesekali menyeka air matanya. Tak lama Danila mohon ijin keluar.
Dokter muda itu belum melihat Elis dari tadi. Pandangan matanya menyapu ke seluruh ruangan kecil rumah tersebut. Namun tak ada juga. Ia membawa langkah kakinya ke depan rumah.
Elis masih duduk di bangku itu. Bangku yang setiap sore menjadi kawannya menanti. Namun kali ini binar pengharapan itu redup, padam sama sekali. Secangkir kopi hitam itupun tak ada di cangkirnya. Cangkir itu dibiarkannya kosong. Tangan kanannya menopang wajahnya.
Danila lalu duduk disamping gadis itu. Gadis itu tak bergeming sedikitpun. Matanya yang sembab sudah bisa ditebak jika gadis itu menangis cukup lama.
“Kak Dan ngerti kok,” ucap Danila membuka suara. Isak tangis semakin nyaring terdengar dari arah dalam rumah.
Elis tak menjawab. Pandangan matanya masih menerawang jauh seperti menjelajah menembeus pagar halaman rumahnya hingga pohon-pohon dan perbukitan diseberang desanya.
“kematian itu emang dekat dengan kita Lis, kata Ustadz Kak Dan dulu, setiap yang memiliki nyawa pasti akan merasakan mati.” Danila mencoba tersenyum. Air matanya tak dapat ditahannya lagi. Jatuh menetes dipipinya yang bersih.
“terus kenapa Alloh gak ngasih ijin barang sedikit saja buat Elis ketemu Ibu, memeluk dan cerita ke Ibu?” Elis berucap kemudian, nada suara gadis polos itu benar-benar membuat hati Danila sesak.
“umur seseorang mana ada yang tau, begini Lis, Kak Dan yakin ibu kamu orang baik. Buktinya Alloh mengambil ibu duluan kan?”
“memang begitu Kak Dan?” Elis kembali meneteskan air matanya.
Danila mengangguk pelan. Tangannya serta merta meraih gadis itu ke pelukannya. Didekapnya erat bocah itu. Bagaimana mungkin Elis harus menjadi anak yatim piatu sekecil ini Ya Alloh?. Bisiknya dalam hati.


Senja itu masih menyisakkan awan mendung dalam hati Danila setelah seminggu yang lalu. Kakinya melangkah penuh semangat untuk segera sampai ke kosnya.
“sore Kak Dan,” sapa Elis di beranda rumahnya. Melambaikan tangannya pada Danila. Danilapun menghampiri gadis itu.
“Elis, tumben, masih membuat kopi?”
“buat Kak Dan ya? Resepnya masih sama kok, waktu itu Kak Dan minta tapi Elis bilang buat Ibu, sekarang Elis bakal bikinin buat Kak Dan,” sebuah senyum tulus terukir dibibir Elis. Hatinya mungkin masih sedih perihal kehilangan ibundanya seminggu lalu namun Elis adalah gadis yang sangat tegar dan tabah.
“serius nih? Wah Kak Dan bayar berapa dong?” canda Danila.
“gak usah Kak Dan, dari pertama Kak Dan udah mau jadi temen aku aja aku seneng kok,” sergah Elis mantap.
“yaudah, Kak Dan minum nih kopinya,”
Danila meraih gagang cangkir itu lalu menyeruput kopi hitam itu. Dia memang penggemar kopi namun kali ini dirasanya kopi itu beda. Kopi ternikmat sedunia. Ya, memang agak berlebihan. Kopinya hanya kopi biasa. Namun senyum Elis lah pemanis kopi di senja hari ini.
Elis tersenyum senang kala Danila mengacungkan ibu jarinya.
Dari gadis ini Danila banyak belajar. Belajar tentang arti memiliki dan kehilangan, belajar arti sebuah keluarga, belajar memahami kehidupan meski itu sederhana. Dari Elis, Danila tau, artinya tulus sebuah persahabatan, kasih sayang penuh keikhlasan.
“Kak Dan, besok-besok kalau Kak Dan pulang mampir kesini aja terus, pasti Elis bikinin kopi deh,” gadis itu memecah kebisuan Danila seketika.
“oke deh, janji ya sama Kak Dan, jangan sedih lagi, hidup kamu masih panjang, kamu masih ingin bercita-cita seperti Kak Dan kan?” Danila tersenyum.
“siap Kak Dan! Aku janji demi nenek dan Kak Dan,” gadis itu meletakkan telapak tangannya dengan gerakan hormat. Danila terkekeh.
Mungkin kopi ini tak akan lagi terbuang dengan sia-sia bersama harapan tak berujung. Kopi dalam cangkir ini tak akan lagi mengotori batu-batu kecil yang berwarna hitam pekat karena kopi-kopi yang terbuang dan membekas.
Ah, rasanya kehilangan itu seperti rasa kopi di kala senja, terasa sangat pahit. Namun, senyum ketegaran dan rasa keikhlasanlah pemanis kopi itu. Pemanis yang membuat butiran-butiran akan rasa kehilangan berubah menjadi manisnya keikhlasan pada Sang Khalik yang telah menetapkan takdir setiap manusia.





4 komentar:

  1. bahan pelengkap membuat kopi itu ada dua, yang satu gula. yang satu cinta haha :P

    BalasHapus
  2. nicee :)
    temanya bagus mbak we, tapi yang paling penting aku jatuh cinta sama dua kalimat pertama, wkwk
    keep writing yaaaa

    BalasHapus