Mentari kembali bertengger dengan gagah di ufuk timur. Siluet pita jingga terlukis abstrak membentang di langit, menambah hangatnya pagi. Sinar mentari menerobos paksa di jendela kamar Ares, membiaskan cahaya warna-warni nan indah. Tapi tidak bagi Ares.
Tubuhnya lemas. Ia tak bisa lagi mengucek-ngucek matanya untuk bisa melihat cahaya pagi. Ares hanya bisa meraba-raba meja disamping tempat tidurnya untuk membantunya berdiri.
Hal yang selalu ia sesalkan setiap pagi, kenapa dia harus hidup kalau tidak berguna seperti ini, hidup hanya dalam kegelapan bak terjebak di dalam labirin yang panjang tak berujung tanpa cahaya. Hal yang selalu ia tanyakan kepada Tuhan, kenapa Tuhan terlampau adil memberikan cobaan seperti ini padanya.
Ares membuka knok pintu kamarnya. Diraihnya tongkat yang terlipat di atas meja lalu ditegakkannya.
Tok…tok…tok…bunyi tongkat terasa mengiris-iris ulu hatinya. Nyeri.
Tujuh bulan sudah Ares membiasakan diri dengan kepahitan hidupnya menjadi orang buta. Bukan!. Itu terlalu kasar untuk Ares. Dia hanya tidak bisa melihat, melihat dunianya yang dulu penuh warna. Bahkan dia sudah tak ingat lagi bagaimana wujud warna biru, warna favoritnya.
Kecelakaan yang mengubah hidupnya itu terlintas kembali, merasuki otak Ares. Menjalar bagai racun yang ingin segera dimuntahkannya.
“Ares? Sudah bangun kamu?” sapa Ibunya lembut.
Suara piring ditata diatas meja makan. Hanya itu yang didengarnya sehingga ia tahu persis ibunya sedang menyiapkan sarapan.
“iya Bu..” balas Ares parau.
“sini duduk, kita sarapan bareng,” lanjut ayahnya.
Ares mendekati meja makan.
Bukkk!!
“aduh..” jerit Ares tiba-tiba. Ia tak sengaja menabrak meja.
“gimana sih Res? Makanya kalau jalan itu lih..” sergah Angga, namun secepat kilat ibunya menepuk pundak Angga.
“Angga..! tidak sopan kamu begitu pada adikmu!” seru ayah.
Mendengar kejadian itu Ares segera membalikkan badannya. Berjalan tertatih dengan tongkatnya yang setia di genggaman jari-jari mungilnya. Ares merasa menjadi orang yang tidak berguna.
“Angga minta maaf Yah,” Angga lalu meraih penampan berisi sepiring nasi goreng dan susu coklat kesukaan Ares.
“biar Angga yang kekamar Ares Bu,”
“hey…” sapa Angga. Ares tahu Mas Angganya itu tidak bermaksud sedikitpun kasar padanya. Mas Angga adalah sosok kakak yang Ares sayangi.
“Mas Angga?, aku cuma lagi pengen sendiri Mas.” Kata Ares.
Angga meletakkan penampan di meja. Dia duduk disamping Ares meraih pundaknya dan merangkul Ares.
“Mas tahu betul gimana perasaan kamu Res. Tapi sampai kapan kamu terus sesali nasib seperti ini?”
“Aku sudah kehilangan harapan Mas. Aku ngrasa jadi boneka hidup yang gak bisa ngapa-ngapain Mas. Kelulusan yang seharusnya aku banggakan itu percuma. Aku gak bisa malanjutkan kuliah di universitas favorit kayak Mas Angga dan bisa punya cita-cita.” Ares tertunduk lesu.
“seburuk apapun sesuatu yang menimpa kamu, separah apapun keadaan yang kamu sesali. Kamu tetep Arestya Paramitha. Harta Mas yang sangat berharga.”
Ares memeluk Angga kemudian. Air matanya pecah mengalir dipipinya.
“Aku sayang sama Mas Angga,” desah Ares sembari terisak.
“ngapain sih Mas ngajakin ke taman segala? Emang Mas Angga gak kuliah?” Ares turun dari mobil dibantu Angga.
Udara segar kota Bogor menyeruak begitu saja di hidung Ares. Lama juga dia tidak menikmati udara luar rumah.
“ini kan sabtu Res, Mas libur.” Angga memapah Ares. Mereka menuju bangku panjang kosong di dekat kolam yang cukup besar. Dulu tempat itu adalah tempat yang sering dikunjungi Ares dan teman-temannya semasa sekolah. Sekedar untuk membuang penat.
“nah…kamu duduk disini, jangan kemana-mana, Aku cari es krim dulu. Oke..”
“oke…jangan lama-lama Mas,”
Angga berlalu meninggalkan Ares, ia merogoh saku jeansnya untuk mengambil henfon.
Ares masih terpaku di tempatnya duduk. Sesekali kepalanya ia miringkan untuk memastikan suara yang ia dengar. Jeritan anak kecil atau obrolan orang-orang dewasa sesekali ia tangkap. Lumayan rame. Batinnya.
“ehm…cewek, gak takut nih di taman sendirian lagi,” sapa suara yang datang tiba-tiba.
“Mas Reno?!” Tebak Ares.
“yaaaahhhh…koq tau sih,” sergah Reno pura-pura kesal.
Reno adalah sahabat akrab Angga. Ares mengenalanya dua tahun belakangan ini. Reno sering berkunjung kerumahnya bahkan sesekali menginap dan tidur di kamar Angga. Gak heran kalau makhluk dua ini ngumpul pastilah Ares jadi bulan-bulanan keisengan mereka.
Pernah suatu hari saat Reno menginap di rumahnya. Orang tua Ares lagi di Jogja menengok neneknya disana. Tiba-tiba listrik mati. Ares yang saat itu di kamar bergegas lari keluar sambil memanggil-manggil Angga.
Namun Angga tak kunjung datang, Ares yang panik menjerit.
“pocooooooong!!” dia mengarahkan senter kearah sosok itu.
Jeritan Ares disusul dengan gelak tawa sosok yang disangkanya pocong. Lampunya tiba-tiba menyala dan Angga keluar di tempat persembunyiannya sembari memegangi perutnya karena menertawakan kekonyolan Ares.
“Anggaaaaaa…..Renoooooooooo!!!!” seru Ares.
Semalaman itu Ares mengunci mulut pada Angga dan Reno karena ngambek.
“nglamun mulu! Ntar kesambet loh..” Reno membuyarkan lamunan Ares.
“hahaha…paling kalau adapun setannya kaya Mas Reno, suka usil. Aku tau nih, pasti Mas Angga yang nyuruh Mas dateng ya?”
“sok tau nih..hhuh,” Reno mengacak-acak rambut panjang gadis itu.
“hih..tuh kan! Rese nih, ngapain sih Mas mau nemenin cewek yang gak bisa lihat kaya aku? Emang Mas gak malu dilihatin orang?”
“loh emang kenapa mesti malu? Mas gak pernah minta makan sama mereka. Bahkan sama kamupun Mas gak malu, kamu suruh Mas buka bajupun Mas mau. Hahahaha.” Reno tertawa renyah disusul tawa Ares.
Selalu ada saja yang dibuat Reno untuk membuat gadis itu tertawa. Ares memang sudah lama mengagumi dan suka sama Reno. Tapi dia merasa tidak pantas mendapatkan hati cowok pujaan hatinya itu apalagi dengan keadaannya yang seperti ini.
“Mas minta maaf sama kamu,”
“kenapa Mas?”
“coba dulu kamu gak berusaha dateng ke kampus Mas. Pasti keadaannya gak seperti ini. Mas bego, Mas harusnya dateng ke pertandingan basket kamu, melihat kamu tertawa bahagia dengan trophi juara satu kamu waktui itu ketimbang rapat organisasi di kampus. Harusnya Mas gak egois Res,” Reno menundukkan wajahnya. Pandangannya nanar mengenang kejadiaan yang dirasa adalah kesalahannya.
Ares meraba wajah Reno. Meletakkan jari-jarinya di bibir Reno.
“Mas gak perlu ngulang kalimat itu. Slalu ngerasa salah dengan semua ini. Ini udah takdir Allah Mas.” Senyum tersungging di bibir Ares. Senyum yang begitu menohok dan menyakitkan buat Reno ketimbang rasa sakit dikepalanya yang dirasakan akhir-akhir ini.
Reno meraih tangan Ares dan menggenggamnya. Jari-jari keduanya berpaut. Lagi-lagi Ares tersenyum. Reno mengecup pelan dahi Ares.
Andai Mas tau Ares sayang sama Mas Reno. Mungkin kalau Allah mengijinkan, Ares bakal ngomong sama Mas Reno. Batin Ares.
“apa?! di rumah sakit Tante? Iya..baik Tante, Aku segera kesana.” Angga mematikan henfonnya. Dia meraih kunci mobil dan berlari menuruni tangga.
“mau kemana Ngga? malam-malam begini?” tanya ibunya yang sedang menonton tivi bersama ayahnya.
“Reno masuk rumah sakit Bu, Angga mau kesana. Tapi jangan bilang hal ini ke Ares.”
Angga berlari disepanjang koridor rumah sakit. Mencari kamar yang sebelumnya ia tanyakan pada suster penjaga.
“Tante? Om?”
“Angga..huhuhu..” mama Reno masih terisak.
“Om? Reno kenapa?” nada bicara Angga semakin khawatir.
“akhir-akhir ini dia sering mengeluh sakit yang teramat sangat di kepalanya. Menurut hasil pemeriksaan dokter. Reno…” papa Reno tak lagi melanjutkan kata-katanya. Ia melepas kacamatanya dan mengusap air mata yang jatuh begitu saja.
“Reno kenapa Om?”
“Reno kena kanker otak stadium akhir. Sore tadi dia pingsan. Hidungnya mengeluarkan banyak darah. Bahkan dia muntah darah. Dan dokter memvonis umur Reno tinggal beberapa hari lagi,”
Ada perasaan sesak menyeruak didada Angga mendengar penuturan orang tua sahabatnya yang ia kenal semenjak ia kuliah. Anggapun segera masuk keruangan Reno dirawat. Reno terbaring lesu dan wajahnya pucat. Bahkan untuk bernafas pun ia di bantu dengan selang oksigen dan beberapa alat medis yang terpasang didadanya.
“Ren…bangun Loe!” Angga mengguncang-guncangkan tubuh sahabatnya. Ia tak kuasa membendung air matanya.
“Ngga…” desah Reno parau. Senyumnya kecut.
“Reno? Loe bangun Ren?”
“ja…ngan…bilang…apa..pun…pa….da…ares..” Reno kesulitan berbicara karena selang oksigen yang terpasang dimulutnya. Nafasnya tersengal tak lagi beraturan.
“iya…gue gak bakal ngomong ini ke dia,”
“gu…e…..sa…..yang..sss…sa..ma..ar..es Ngga,” ucap Reno lirih.
“iya gue tau, loe bangun dong. Loe mesti sehat, loe harus ngomong ke dia karena dia juga sayang ke loe.” Angga semakin terisak. Dari pintu terlihat orang tua Reno dan dokter.
“Mas Angga, kenapa Mas Reno gak dateng buat nemenin aku di operasiku?”
“bukan gitu Res, dia janji dia bakal dateng tapi setelah dia pulang dari acara keluarganya di Jakarta.”
Ares duduk dikursi roda. Beberapa menit lagi dia akan melaksanakan operasi donor kornea. Perasaannya tak dapat lagi ia deskripsikan. Ares teramat sangat bahagai karena sebentar lagi dia kembali melihat dunia. Melihat orang-orang yang ia sayangi. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan mengatakan perasaannya pada Reno.
Ares memasuki ruang operasi. Ayah dan ibunya harap-harap cemas. Berharap operasinya bisa berjalan lancar.
Ruang Ares dirawat dipenuhi keluarga Ares. Termasuk orang tua Reno.
Dokter membuka perlahan perban yang menutupi kedua mata Ares. Ares membuka matanya pelan. Perlahan cahaya memantulkan sinarnya ke mata Ares. Ares kini sudah bisa melihat.
Ia mematut dirinya di cermin yang dipegangnya. Meraba setiap lekuk wajahnya. Bayangan Reno seperti tiba-tiba hadir. Berkelebat di pikiran Ares.
“Mas Reno?”
Kata yang terucap pertama kali saat Ares bisa melihat dunianya kembali.
“Bu? Tante? Mas Reno dimana?”
“Res…kamu sabar ya, ada sesuatu yang Reno titikan pada Tante sebelum…” Tante Maya, mama Reno kembali menangis.
“sebelum apa Tante?” kata Ares, tatapan matanya memohon seolah meminta pengakuan dari Tante Maya.
“Ada apa ini? Kenapa semuanya diam? Mas Angga?? Mas Reno kenapa?” buliran air mata membasahi pipi Ares saat menerima kotak berwarna biru dari mamanya Reno.
Angga memeluk adiknya.
“Reno sudah gak bisa bareng-bareng kita lagi Res.”
“apa maksudnya Mas,”
“Reno sudah meninggal…”
Semua terdiam, hanya isak tangis yang terdengar mengisi ruangan rumah sakit itu.
“enggak!!!!.kalian semua bohong!!!” Ares turun dari ranjangnya. Langkahnya terhuyung. Ia berlari keluar pintu dengan membawa kotak dari Reno untukknya.
Ares mematut dirinya di cermin memastikan penampilannya hari ini adalah yang terbaik. Ia memakai gaun hitam pemberian Reno di dalam kotak yang dikirimkan bersama surat yang Reno tulis sehari sebelum kematiannya. Entah kenapa Reno memilih warna hitam untuknya. Apakah mungkin sebagai firasat?. Mata indah itu. Itu mata Mas Reno.
Ares membuka kembali kotak dari Reno. Diambilnya sepucuk surat Reno.
Dear…Ares sayang,
Surat ini sengaja aku tulis barangkali vonis dokter itu bener-bener kejadian. Kemarin dokter bilang sama orang tuaku kalau umurku hanya tinggal beberapa hari saja. Kanker otak ini menggerogotiku setahun belakangan ini tanpa aku tau sebelumnya. Rasanya tidak sakit koq karena perasaan yang teramat sakit sesungguhnya aku rasakan justru saat kamu kehilangan senyum dan keceriaan kamu dan itu semua karena aku.
Beberapa hari lagi kamu ulang tahun, itu kenapa aku beli gaun itu untuk kamu. Untuk dinner kita pas malam ulang tahun kamu. Malam saat seharusnya aku ungkapkan perasaan cintaku ke kamu Res. Hmm…andai waktu bisa aku tawar walau hanya beberapa jam saja untuk aku bisa bilang cinta. Aku cinta kamu.
Mungkin suatu saat nanti kita akan bertemu walau di tempat lain. Kita akan bersatu. Tapi kamu tau Res? Walaupun aku akan pergi untuk selamanya. Aku akan pergi dengan tenang dan bahagia. Karena aku bisa mengubah dunia gelapmu Res.
Jangan pernah sesali apa yang telah terjadi. Allah maha adil. Aku rela menukar nyawaku jika memang bisa membuatmu tersenyum lagi sayang.
Sepenuh cinta…
Reno
Air mata Ares kembali meleleh. Ia melipat rapi surat itu. Bergegas ia keluar dan mendapati Angga yang siap mengantarnya ke makam Reno.
Aku janji Mas Reno. Aku akan tetap tersenyum demi kamu. Aku juga cinta sama kamu Mas.
Batin Ares.
Mobil mereka melaju pelan. Menyusuri jalanan yang tak terlalu ramai. Mega berarak malas menambah pesona siang itu. Siang kedua buat Ares.
Ia menggenggam erat kotak itu. Akan aku simpan baik-baik pemberian terakhirmu Mas Reno. Tentu saja mata yang indah ini, gaun darimu dan sepucuk surat terakhir.
@TiyasWidyastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar