Malam
Jogja selalu menarik. Aku suka itu. Jalanan yang ramai kendaraan tak terlalu
menyumbangkan macet, toh nyatanya Malioboro selalu ramai pengunjung. Tak
terlalu menghiraukan orang-orang berlalu lalang, aku tetap saja santai
menikmati jalan dibonceng sepeda motor seseorang.
Lampu-lampu
disepanjang jalan berderet rapi. Bersinar membiaskan cahaya keemasan menerpa
trotoar jalan. Aku merapatkan jaket jeansku dengan kedua tanganku. Hmm...cukup
dingin juga angin malam ini.
Tak
berapa lama.
Motor
ini parkir begitu saja di depan gerbang monumen 11 Maret. Aku melangkahkan kaki
santai menuju tempat duduk di dekat trafic light sebelah kiri. Langkah itupun
menjejeriku pelan, tangannya meraih tangan kananku, namun secepat kilat aku
menepisnya.
“apaan
deh,” umpatku manja. Dia tersenyum. Ah senyum itu, senyum yang selalu menjadi
candu dan menggodaku.
“ih,
gitu amat, sama aku,” dia merengut. Aku tau wajahnya menyiratkan bahasa kesal.
Aku lalu
duduk menikmati keramaian 0km kota Jogja. Perempatan jalan yang menjadi tempat
favorit kita kalau keluar malam.
“aku mau
ngomong sama kamu,” ucapnya mantap. Nada bicaranya mendadak serius. Aku sempat
kaget. Kesurupan apa ini anak, biasanya gokil dan rame kalau udah ngumpul. Tapi
aku bisa menebak apa yang bakal keluar dari mulutnya.
Sudah
lumayan lama dia mendekatiku, tepatnya 3 bulan yang lalu saat aku pertama kali
datang ke Jogja. Dia, seorang Mahasiswa farmasi di UGM semester 6. Aku
mengenalnya karena kebetulan rumahnya berada tepat di sebelah kosku. Aku
sendiri adalah seorang mahasiswi sebuah sekolah tinggi kedinasan yang kebetulan
ditempatkan di sebuah kota kecil ujung timur Jogja. Kalasan.
Dia
pertama kali menyapaku saat aku keluar dari masjid dekat rumahnya. Tanpa
basa-basi dia bertanya siapa namaku. Perkenalan itupun berlanjut. Sampai aku
tau namanya adalah Galan.
“Ra? Kok
diem?” sergahnya. Membuyarkan lamunanku sejenak. aku langsung salah tingkah dan
pura-pura membetulkan jilbab abu-abuku.
“iya
Mas, hahaha, ngomong aja lagi,” Naura, gak
usah gugup gitu dong.
“aku
suka sama kamu. Aku pengen kita lebih serius dari sekedar berteman.” Ucapnya pelan
tapi pasti.
Glek!
Yes! Aku berhasil menebaknya. Ini yang
aku tunggu-tunggu. Gumamku
dalam hati.
“jadi?”
lanjutnya kemudian. Aku masih terus saja bengong karena bingung bercampur
bahagia.
“aku
rasa kamu tau jawabannya Mas,” aku menoleh ke arahnya. Tatapan mata itu semakin
penasaran menunggu sesuatu yang akan meluncur dari sela-sela bibirku.
Aku tak
menjawab lagi. Aku hanya tersenyum. Mencoba menyiratkan ekspresi paling bahagia
sedunia. Semoga dia paham.
“kamu
terima aku?” dia tak sadar kalau volume suaranya lumayan untuk membuat
orang-orang sekitar menoleh ke arahku yang celingukan menahan malu.
“hahaha..kenapa?
malu ya? Santai aja lah, oya nih,” Mas Galan memberikanku sepotong coklat
berbentuk hati.
“kok
Cuma sepotong? Semua ajalah,” protesku.
“jangan,
ini itu separuh hatiku buat kamu, separuh lagi aku simpen buatku sendiri,”
candanya lalu menelan coklat miliknya.
“stres!”
umpatku.
“tapi
suka kan?” dia masih terus saja manggodaku. Aku hanya tertawa dibuatnya.
----------
“Ra!
Nglamun aja kamu!” ucap Dian pelan.
Ah...memori
itu semacam berhamburan di otakku. Dasar Dian!
Dian
adalah teman sebangkuku juga sahabatku. Dia paling bisa jadi tempat sampah
kalau aku lagi galau.
“hehehe,
gak kok, Cuma keinget sesuatu jadi lucu aja,” balasku.
Sial!
Ini pelajaran kapan berakhir sih? Cuma bikin mata susah diajak kompromi buat
melek. Lagi-lagi aku hanya melemparkan pandangan ke luar jendela kelas.
Aku
meraih tas ransel hitamku lalu memakai pantofelku. Hari ini adalah yudisium dan
pengumuman kelulusan seluruh mahasiswa prodip.
Sebuah
sms berbunyi nyaring. Aku membukanya.
Mas Galan : Sukses ya dear, J
Secepat
kilat aku membalasnya.
Aku : doanya ya Mas, #semangat!
Pengumuman
dan yudisium berlangsung lancar. Semua mahasiswa tentu saja merasa lega. Yeay!
Sebentar lagi bakal wisuda.
Aku
langsung meraih ponselku untuk memberi kabar kepada orang tuaku dan tentu saja
pada Mas Galan.
Belum
sempat aku mendial nomer ayahku ternyata sudah berdering nyaring.
Aku
langsung memberi kabar bahagia ini pada ayah.
Tak
berapa lama aku menutup sambungan telepon dengan nada kecewa. Dian langsung
menangkap raut wajahku yang berusaha menutupi perasaan aneh.
“kamu
kenapa Ra? Seneng dong kan udah lulus kita, udah kamu kabarin Mas Galan?”
tanyanya.
“apa aku
harus mutusin Mas Galan?” ucapku tiba-tiba. Entah keberanian darimana sehingga
kata-kata itu meluncur deras dari mulutku. Mataku bersaput mendung. Air mataku
seperti tertahan di ujung kelopak mataku.
“maksudmu?”
tanya Dian yang semakin heran.
Aku tak
menjelaskan apapun. Aku rasa aku perlu waktu untuk sendiri dan mengambil
langkah.
Ayah
selalu menyebut-nyebut nama dia, cowok yang juga sahabat kecilku dari dulu.
Anak dari sahabat ayah juga. Ayah bilang orang tua dia juga setuju. Apa
maksutnya?. Aku bukan anak kecil yang harus diatur bahkan dengan siapa aku
jatuh cinta.
Mas
Galan. Dia pasti kecewa jika aku menceritakan hal ini. Mungkin memutuskannya
adalah yang terbaik. Toh aku juga sudah selesai kuliah. Aku gak bakal
bareng-bareng dia lagi di Jogja. Dia bakal tak merasa nyaman juga dengan
kondisi ini.
Malam
itu akan menjadi malam terberatku dibandingkan Ujian Akhir Semester. Aku sayang
sama Mas Galan. Bahkan perasaan ini semakin tumbuh. Tetapi jika yang terbaik
adalah melepaskannya demi pilihan ayahku, aku akan terima jalan ini.
0 km.
Tempat inilah pertama kali dia mengajakku keluar. Tempat ini pulalah yang
menjadi saksi pernyataan perasaan Mas Galan terhadapku, dan apakah tempat ini
juga yang akan menjadi saksi kejamnya perasaanku pada Mas Galan? Orang yang
benar-benar aku cintai?. Aku menepis segala pikiran yang berkecamuk dalam hati.
Aku
menghela napas panjang.
Mas
Galan tak juga membuka obrolan. Pandangan mataku sayu melihat kenadaraan yang
berjejer rapi menunggu lampu merah menyala hijau. Detik 58 menjadi 0 pun terasa
lambat sekali.
Aku
memainkan kakiku membentuk sebuah huruf kecil. Mas Galan masih memerhatikanku.
Dia tau jika sudah begini pastilah masalah menggelayut dipikiranku.
“Ra?”
ucapnya pelan. Dia seperti takut untuk bertanya lagi.
Aku
hanya tersenyum. Senyum yang tulus namun seperti terpaksa. Aneh memang.
“Mas,
aku mau ngomong...” aku tak melanjutkannya. Kata-kata yang sudah aku susun rapi
seperti tersangkut ditenggorokan.
Mas
Galan berlalu. Mataku mengikuti kemana langkahnya pergi. Dia mendatangi seorang
pedagang asongan dan membeli sebotol minuman dingin.
“nih
minum, kamu haus ya?” dia membuka tutup botolnya lalu menyerahkannya padaku.
Sikap
Mas Galan justru membuat aku semakin bersalah. Aku seperti berkonflik dengan
hati kecilku. Sial!
Aku
meneguk pelan lalu melanjutkan kata-kataku. Aku mengumpulkan partikel
keberanian.
“Mas,
aku mau kita udahan aja ya?” aku berusaha tetap menjaga nada suaraku.
Mas
Galan seperti tersengat listrik. Dia kaku sembari tertunduk cukup lama.
“maaf
Mas, aku gak mau kita menjalin hubungan jarak jauh, aku gak mau kamu
mengharapkan aku. Aku yakin kamu bisa dapet cewek yang lebih baik dari aku,”
aku menitikkan air mata. Punggung tanganku dengan cekatan mengusap buliran air
mata yang mengalir di pipiku.
“kenapa
kamu tega Ra? Aku bahkan gak pernah merasa keberatan jika kamu harus pergi jauh
dariku. LDR itu Cuma masalah jarak. Kalau kita bisa jaga dengan kesetiaan dan
kepercayaan gak akan ada masalah,” nada suara Mas Galan bergetar. Aku tau dia
kecewa sekali padaku.
“masalahnya
gak sesimpel itu Mas, aku gak bisa giniin kamu. Aku terlalu sayang sama kamu,”
ucapku. Air mataku semakin membanjir.
Mas
Galan memakaikan jaket biru tuanya ketubuhku. Jaket itu kini melekat ditubuhku.
Aku masih membiarkan air mataku mengalir. Ah paling setelah ini aku akan merasa
plong, Pikirku.
“yaudah
pulang yuk, udah malem,” ajak Mas Galan. Matanya tak lagi menatapku tapi
semacam perasaan kecewa yang berusaha mengacuhkan pandangannya.
Kejadian
itu sudah beberapa hari yang lalu. Hubunganku dengan Mas Galan putus seketika,
tanpa ada kabar, sms ataupun telpon. Dia seolah ingin melupakanku. Melupakan
seseorang yang begitu kejam mencampakannya begitu saja. Seseorang yang dia
sayangi dengan tulus tetapi memutuskannya begitu saja tanpa ada alasan pasti.
Dan itu aku!.
Hari ini
adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Wisuda. Dulu aku berharap Mas Galan yang
bakal jadi pendamping wisudaku selain kedua orang tuaku. Tapi yang kuharapkan
justru berbalik 180 derajat. Kita tak pernah lagi saling berhubungan.
Pagi itu
aku berangkat agak terlambat. Lumayan terlambat karena yang dijadwalkan
setengah tujuh tetapi aku datang jam setengah delapan. Aku berusaha membuang
bayang-bayang Mas Galan sejenak. Berbaur dengan semua mahasiswa berseragam toga
cukup membuatku bahagia.
Prosesi wisuda
berjalan lancar bahkan lebih cepat dari yang dijadwalkan. Aku berucap syukur
mantap. Ya! Hari ini aku resmi menjadi alumni sekolah tinggi kedinasan yang
selama kurang dari setahun telah memberikan begitu banyak hal padaku. Perjuanganku
berakhir tetapi justru inilah awal kembali aku meraih apa yang sesungguhnya aku
cita-citakan.
Aku mengambil
henfon yang sedari tadi aku titipkan
pada ayahku. Berderet sms masuk ternyata. Ucapan selamat mengalir dari
sahabat-sahabatku yang tak bisa datang. Ada sebuah pesan yang langsung menarik
pandangan mataku. Mas Galan.
Mas Galan : selamat ya Ra! Semoga cepet jadi
PNS! Jangan lupa sama Mas, aku akan selalu mendoakanmu. Oya, Dian udah cerita,
semoga long last ya sama pilihanmu. Aku ikut seneng kok. J
SMS
lumayan panjang dari Mas Galan membuat jari-jariku kaku untuk menekan tuts pada
keypad henfon. Ah, biarlah. Aku tau, ini cukup buatmu Mas. Aku berharap kapan
waktunya nanti Allahlah yang menyatukan cinta kita. Karena sepotong cinta itu
masih tertinggal di Jogja.