follow me Kakaa

Sabtu, 20 Oktober 2012

Sepotong cinta itu masih tertinggal di Jogja



Malam Jogja selalu menarik. Aku suka itu. Jalanan yang ramai kendaraan tak terlalu menyumbangkan macet, toh nyatanya Malioboro selalu ramai pengunjung. Tak terlalu menghiraukan orang-orang berlalu lalang, aku tetap saja santai menikmati jalan dibonceng sepeda motor seseorang.
Lampu-lampu disepanjang jalan berderet rapi. Bersinar membiaskan cahaya keemasan menerpa trotoar jalan. Aku merapatkan jaket jeansku dengan kedua tanganku. Hmm...cukup dingin juga angin malam ini.
Tak berapa lama.
Motor ini parkir begitu saja di depan gerbang monumen 11 Maret. Aku melangkahkan kaki santai menuju tempat duduk di dekat trafic light sebelah kiri. Langkah itupun menjejeriku pelan, tangannya meraih tangan kananku, namun secepat kilat aku menepisnya.
“apaan deh,” umpatku manja. Dia tersenyum. Ah senyum itu, senyum yang selalu menjadi candu dan menggodaku.
“ih, gitu amat, sama aku,” dia merengut. Aku tau wajahnya menyiratkan bahasa kesal.
Aku lalu duduk menikmati keramaian 0km kota Jogja. Perempatan jalan yang menjadi tempat favorit kita kalau keluar malam.
“aku mau ngomong sama kamu,” ucapnya mantap. Nada bicaranya mendadak serius. Aku sempat kaget. Kesurupan apa ini anak, biasanya gokil dan rame kalau udah ngumpul. Tapi aku bisa menebak apa yang bakal keluar dari mulutnya.
Sudah lumayan lama dia mendekatiku, tepatnya 3 bulan yang lalu saat aku pertama kali datang ke Jogja. Dia, seorang Mahasiswa farmasi di UGM semester 6. Aku mengenalnya karena kebetulan rumahnya berada tepat di sebelah kosku. Aku sendiri adalah seorang mahasiswi sebuah sekolah tinggi kedinasan yang kebetulan ditempatkan di sebuah kota kecil ujung timur Jogja. Kalasan.
Dia pertama kali menyapaku saat aku keluar dari masjid dekat rumahnya. Tanpa basa-basi dia bertanya siapa namaku. Perkenalan itupun berlanjut. Sampai aku tau namanya adalah Galan.
“Ra? Kok diem?” sergahnya. Membuyarkan lamunanku sejenak. aku langsung salah tingkah dan pura-pura membetulkan jilbab abu-abuku.
“iya Mas, hahaha, ngomong aja lagi,” Naura, gak usah gugup gitu dong.
“aku suka sama kamu. Aku pengen kita lebih serius dari sekedar berteman.” Ucapnya pelan tapi pasti.
Glek!
Yes! Aku berhasil menebaknya. Ini yang aku tunggu-tunggu. Gumamku dalam hati.
“jadi?” lanjutnya kemudian. Aku masih terus saja bengong karena bingung bercampur bahagia.
“aku rasa kamu tau jawabannya Mas,” aku menoleh ke arahnya. Tatapan mata itu semakin penasaran menunggu sesuatu yang akan meluncur dari sela-sela bibirku.
Aku tak menjawab lagi. Aku hanya tersenyum. Mencoba menyiratkan ekspresi paling bahagia sedunia. Semoga dia paham.
“kamu terima aku?” dia tak sadar kalau volume suaranya lumayan untuk membuat orang-orang sekitar menoleh ke arahku yang celingukan menahan malu.
“hahaha..kenapa? malu ya? Santai aja lah, oya nih,” Mas Galan memberikanku sepotong coklat berbentuk hati.
“kok Cuma sepotong? Semua ajalah,” protesku.
“jangan, ini itu separuh hatiku buat kamu, separuh lagi aku simpen buatku sendiri,” candanya lalu menelan coklat miliknya.
“stres!” umpatku.
“tapi suka kan?” dia masih terus saja manggodaku. Aku hanya tertawa dibuatnya.
----------
“Ra! Nglamun aja kamu!” ucap Dian pelan.
Ah...memori itu semacam berhamburan di otakku. Dasar Dian!
Dian adalah teman sebangkuku juga sahabatku. Dia paling bisa jadi tempat sampah kalau aku lagi galau.
“hehehe, gak kok, Cuma keinget sesuatu jadi lucu aja,” balasku.
Sial! Ini pelajaran kapan berakhir sih? Cuma bikin mata susah diajak kompromi buat melek. Lagi-lagi aku hanya melemparkan pandangan ke luar jendela kelas.


Aku meraih tas ransel hitamku lalu memakai pantofelku. Hari ini adalah yudisium dan pengumuman kelulusan seluruh mahasiswa prodip.
Sebuah sms berbunyi nyaring. Aku membukanya.
Mas Galan : Sukses ya dear, J
Secepat kilat aku membalasnya.
Aku : doanya ya Mas, #semangat!


Pengumuman dan yudisium berlangsung lancar. Semua mahasiswa tentu saja merasa lega. Yeay! Sebentar lagi bakal wisuda.
Aku langsung meraih ponselku untuk memberi kabar kepada orang tuaku dan tentu saja pada Mas Galan.
Belum sempat aku mendial nomer ayahku ternyata sudah berdering nyaring.
Aku langsung memberi kabar bahagia ini pada ayah.
Tak berapa lama aku menutup sambungan telepon dengan nada kecewa. Dian langsung menangkap raut wajahku yang berusaha menutupi perasaan aneh.
“kamu kenapa Ra? Seneng dong kan udah lulus kita, udah kamu kabarin Mas Galan?” tanyanya.
“apa aku harus mutusin Mas Galan?” ucapku tiba-tiba. Entah keberanian darimana sehingga kata-kata itu meluncur deras dari mulutku. Mataku bersaput mendung. Air mataku seperti tertahan di ujung kelopak mataku.
“maksudmu?” tanya Dian yang semakin heran.
Aku tak menjelaskan apapun. Aku rasa aku perlu waktu untuk sendiri dan mengambil langkah.
Ayah selalu menyebut-nyebut nama dia, cowok yang juga sahabat kecilku dari dulu. Anak dari sahabat ayah juga. Ayah bilang orang tua dia juga setuju. Apa maksutnya?. Aku bukan anak kecil yang harus diatur bahkan dengan siapa aku jatuh cinta.
Mas Galan. Dia pasti kecewa jika aku menceritakan hal ini. Mungkin memutuskannya adalah yang terbaik. Toh aku juga sudah selesai kuliah. Aku gak bakal bareng-bareng dia lagi di Jogja. Dia bakal tak merasa nyaman juga dengan kondisi ini.


Malam itu akan menjadi malam terberatku dibandingkan Ujian Akhir Semester. Aku sayang sama Mas Galan. Bahkan perasaan ini semakin tumbuh. Tetapi jika yang terbaik adalah melepaskannya demi pilihan ayahku, aku akan terima jalan ini.
0 km. Tempat inilah pertama kali dia mengajakku keluar. Tempat ini pulalah yang menjadi saksi pernyataan perasaan Mas Galan terhadapku, dan apakah tempat ini juga yang akan menjadi saksi kejamnya perasaanku pada Mas Galan? Orang yang benar-benar aku cintai?. Aku menepis segala pikiran yang berkecamuk dalam hati.
Aku menghela napas panjang.
Mas Galan tak juga membuka obrolan. Pandangan mataku sayu melihat kenadaraan yang berjejer rapi menunggu lampu merah menyala hijau. Detik 58 menjadi 0 pun terasa lambat sekali.
Aku memainkan kakiku membentuk sebuah huruf kecil. Mas Galan masih memerhatikanku. Dia tau jika sudah begini pastilah masalah menggelayut dipikiranku.
“Ra?” ucapnya pelan. Dia seperti takut untuk bertanya lagi.
Aku hanya tersenyum. Senyum yang tulus namun seperti terpaksa. Aneh memang.
“Mas, aku mau ngomong...” aku tak melanjutkannya. Kata-kata yang sudah aku susun rapi seperti tersangkut ditenggorokan.
Mas Galan berlalu. Mataku mengikuti kemana langkahnya pergi. Dia mendatangi seorang pedagang asongan dan membeli sebotol minuman dingin.
“nih minum, kamu haus ya?” dia membuka tutup botolnya lalu menyerahkannya padaku.
Sikap Mas Galan justru membuat aku semakin bersalah. Aku seperti berkonflik dengan hati kecilku. Sial!
Aku meneguk pelan lalu melanjutkan kata-kataku. Aku mengumpulkan partikel keberanian.
“Mas, aku mau kita udahan aja ya?” aku berusaha tetap menjaga nada suaraku.
Mas Galan seperti tersengat listrik. Dia kaku sembari tertunduk cukup lama.
“maaf Mas, aku gak mau kita menjalin hubungan jarak jauh, aku gak mau kamu mengharapkan aku. Aku yakin kamu bisa dapet cewek yang lebih baik dari aku,” aku menitikkan air mata. Punggung tanganku dengan cekatan mengusap buliran air mata yang mengalir di pipiku.
“kenapa kamu tega Ra? Aku bahkan gak pernah merasa keberatan jika kamu harus pergi jauh dariku. LDR itu Cuma masalah jarak. Kalau kita bisa jaga dengan kesetiaan dan kepercayaan gak akan ada masalah,” nada suara Mas Galan bergetar. Aku tau dia kecewa sekali padaku.
“masalahnya gak sesimpel itu Mas, aku gak bisa giniin kamu. Aku terlalu sayang sama kamu,” ucapku. Air mataku semakin membanjir.
Mas Galan memakaikan jaket biru tuanya ketubuhku. Jaket itu kini melekat ditubuhku. Aku masih membiarkan air mataku mengalir. Ah paling setelah ini aku akan merasa plong, Pikirku.
“yaudah pulang yuk, udah malem,” ajak Mas Galan. Matanya tak lagi menatapku tapi semacam perasaan kecewa yang berusaha mengacuhkan pandangannya.


Kejadian itu sudah beberapa hari yang lalu. Hubunganku dengan Mas Galan putus seketika, tanpa ada kabar, sms ataupun telpon. Dia seolah ingin melupakanku. Melupakan seseorang yang begitu kejam mencampakannya begitu saja. Seseorang yang dia sayangi dengan tulus tetapi memutuskannya begitu saja tanpa ada alasan pasti. Dan itu aku!.
Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Wisuda. Dulu aku berharap Mas Galan yang bakal jadi pendamping wisudaku selain kedua orang tuaku. Tapi yang kuharapkan justru berbalik 180 derajat. Kita tak pernah lagi saling berhubungan.
Pagi itu aku berangkat agak terlambat. Lumayan terlambat karena yang dijadwalkan setengah tujuh tetapi aku datang jam setengah delapan. Aku berusaha membuang bayang-bayang Mas Galan sejenak. Berbaur dengan semua mahasiswa berseragam toga cukup membuatku bahagia.
Prosesi wisuda berjalan lancar bahkan lebih cepat dari yang dijadwalkan. Aku berucap syukur mantap. Ya! Hari ini aku resmi menjadi alumni sekolah tinggi kedinasan yang selama kurang dari setahun telah memberikan begitu banyak hal padaku. Perjuanganku berakhir tetapi justru inilah awal kembali aku meraih apa yang sesungguhnya aku cita-citakan.
Aku mengambil henfon yang sedari tadi aku titipkan pada ayahku. Berderet sms masuk ternyata. Ucapan selamat mengalir dari sahabat-sahabatku yang tak bisa datang. Ada sebuah pesan yang langsung menarik pandangan mataku. Mas Galan.
Mas Galan : selamat ya Ra! Semoga cepet jadi PNS! Jangan lupa sama Mas, aku akan selalu mendoakanmu. Oya, Dian udah cerita, semoga long last ya sama pilihanmu. Aku ikut seneng kok. J
SMS lumayan panjang dari Mas Galan membuat jari-jariku kaku untuk menekan tuts pada keypad henfon. Ah, biarlah. Aku tau, ini cukup buatmu Mas. Aku berharap kapan waktunya nanti Allahlah yang menyatukan cinta kita. Karena sepotong cinta itu masih tertinggal di Jogja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar