follow me Kakaa

Selasa, 12 Februari 2013

Bintang Senja


Aku tidak pernah tau bagaimana caranya memulai. Aku mengenalnya dulu, bertahun-tahun yang lalu, namun aku pastikan aku tak benar-benar mengenalnya. Cinta pertama atau cinta monyet apapun itu. Siapa yang menyangka dialah cinta pertamaku, aku menyadarinya tapi percuma. Hanya sebuah cerita klasik masa putih-biru di dalam sebuah kisah hidupku.
Dia tak terlalu spesial. Tapi kenyataanya? Satu, dia benar-benar membuatku tertarik dan benar-benar menyukai cowok urakan macam dia. Dua, dia berbeda dengan cowok lain, meski tak istimewa tetapi dia unik, seenaknya sendiri, masa bodoh dengan aturan. Dia selalu merasa hidup adalah anugrah dan dia harus bisa menikmatinya tanpa orang lain atur. Tiga, terlepas dari itu semua, dia adalah cowok terpandai di kelas bahkan ranking paralel tiap semesternya. Ini yang selalu membuatku iri bagaimana bisa cowok model “semau gue” tapi cemerlang otaknya.
Hmm..kisah lalu, empat atau lima? Yah, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tapi sekarang, bahkan aku tak lagi melihat wajahnya sejak wisuda SMA-ku. Aku mengenalnya sejak pertama kali masuk sebuah sekolah menengah pertama di kotaku. Begitu banyak kisah tentangnya.
Tiga tahun masa SMP ternyata sangat singkat. Aku selalu satu kelas dengannya. Akrab? Boro-boro, mungkin hampir satu angkatanku tau jika kami itu musuh bebuyutan. Lucu memang, tapi memang dia itu suka cari perkara dan masalah dengan siswa lain. Bahkan semua guru hapal dengan kelakuan kami karena bolak-balik dipanggil oleh BK.
Masa putih-abu-abu. Aku satu sekolah lagi dengannya namun tak pernah satu kelas. Aku sering memperhatikannya dari jauh, ke perpus namun memutar jalan melewati kelasnya untuk sekedar memastikan dia ada atau tidak di kelas. Ke kantin khusus cowok hanya untuk melihatnya tertawa bercandaan dengan kawan satu gengnya.
Ada hal lain yang selalu membuatku menertawai diriku sendiri. Aku selalu menjadi bulan-bulanan guru BK di SMA juga karena selalu saja terlambat masuk sekolah. Aku selalu masuk lewat gerbang utama, bukan lagi gerbang khusus sepeda motor. Alasannya tak lain adalah agar selalu bertemu dengan cowok itu, karena diapun langganan terlambat. Setiap pagi, pastilah kami dan siswa lain yang terlambat harus berhadapan dengan guru BK. Namun aku tak pernah menyesalinya, keuntungannya toh aku bisa selalu melihatnya dari dekat.
Anggi adalah satu-satunya sahabatku hingga sekarang yang tau tentang cinta pertamaku itu. Dia pula yang selalu mendorongku untuk mengungkapkan perasaanku ini ke cowok rese itu.
“Lo yakin gak akan pernah ngomong ke dia? Enam tahun lo pendam perasaan lo ke Genta, ini masa-masa terakhir kita di SMA, mungkin ini saat-saat lo bisa sering ketemu dia. Kalo udah kuliah? Apa lo yakin juga lo bakal satu kampus satu jurusan satu kelas sama dia? Plis Del, lo bukan anak kecil lagi, apa susahnya sih?” ucap Anggi suatu hari.
Perpus siang itu cukup sepi karena bel istirahat kedua selalu menggiring seluruh penghuni kelas untuk menyambar menu makan siang atau sekedar pengganjal perut di kantin ataupun koperasi siswa. Aku sendiri masih sibuk memilah-milah buku yang akan ku pilih untuk bahan referensi karya ilmiahku sebagai tugas akhir menjelang UN.
“Delia, lo dengerin gue ngomong gak sih?” gerutu Anggi sekali lagi. Ensiklopedi cukup besar ditangannya ditutupnya dengan keras.
“ssst..bisa dimarahin penjaga perpus ntar?” omelku lirih. Aku memicingkan mata ke arah Pak Gus, penjaga perpus yang tampangnya macam Pak Raden tapi orangnya sih baik.
“Del, sumpah ya. Entah lo ini waras atau enggak, gue aja yang Cuma ngikutin tingkah aneh lo capek. Lo kerjaanya itu kepo mulu segala-gala tentang Genta, inget lo waktu SMP aja macem tom and jerry, kagak ada akurnya.”
“ya kan lo tau, sejak SMA gue mana pernah sekelas, satu-satunya cara ya gue jadi...”
“stalker!” sahut Anggi.
“cerewet. Udahan yok! Udah nih,” sambungku sembari menenteng tiga buah buku tentang autisme.
“Del, kenapa lo gak add fesbuk dia atau follow twitter dia, kan malah lebih gampang,” celetuk Anggi.
“GILA!!! Yang bener aja lo, dia musuh gue, sekali musuh tetap musuh, bisa jatuh harga diri gue!” nada suaraku meninggi. Pak Gus yang sedari tadi asik dengan korannya rupanya mendengar suaraku dan ber-sst ria ke arah kami. Sial!


Sejak hari itu aku selalu berpikir. Gimana kalau kami sudah kuliah nanti? Aku tak satu kampus dengannya. Aku tak lagi melihat Genta. Tidak pernah mengamati senyumnya lagi, tingkah urakannya, sikap cueknya, wajah coolnya. Aish!
Hari itupun tiba. Ya! Saat-saat terakhir masa-masa SMA. Wisuda pelepasan siswa. Aku selalu berusaha menepis bahwa ini adalah terakhir kali aku melihat wajah dan senyumnya. Aku percaya takdir, sangat percaya, tapi aku tak pernah percaya dengan suatu kebetulan. Menurutku sebuah kebetulan adalah rangkaian takdir yang sudah diatur. Cuma orang-orang saja selalu salah persepsi, entahlah.
Aku percaya takdirku. Jika suatu hari nanti aku bertemu dengan Genta, itu bukan suatu kebetulan melainkan bagian dari sebuah takdirku, Delia Cahya Tunggadewi.


Cafe Dezz terlihat sangat ramai sedari siang. Antrian pengunjung tak lagi mengular seperti sebelumnya. Aku mendongakkan wajahku ke orang-orang di depanku yang dari tadi tak juga lelah menanti giliran. Bolpoin ditanganku bahkan tak hentinya disibukkan dengan buku-buku yang terus saja disodorkan oleh orang-orang itu. Ffiuh!.
Aku menghela napas dan menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi. “yep! Antrian kelar!” lirihku.
Baru saja aku mengistirahatkan tubuhku, ponsel di saku jeansku sepertinya tak rela melihat majikannya bersantai sejenak. Suara Taylor Swift dengan Love Story-nya membuatku bergeming dari tempat dudukku.
“Halo, Hai Nggi,” sapaku. Aku melepas kacamata minusku.
“Haiii Del, gimana gimana? Sukses dong acara Launching novel pertama lo?” ucap Angggi penuh semangat.
“Alkhamdulillah, sepertinya iya, hahaha..jadi kapan lo balik? Salam buat nenek lo ya? Semoga cepet sehat,”
“lusa deh kayaknya, sorry nih Del, sebagai sahabat terkeren lo tapi di acara penting lo malah gue gak dateng, nyesel banget deh,”
“santai dong beb, operasi nenek lo lebih penting kali, oya, oleh-oleh dari Jogja jangan lupa! Hahaha..” sergahku.
“hahaha, lo pikir liburan gue liburan? oke deh, gue beliin lo oleh-oleh tapi gue gratisin satu buku lo beserta tanda tangan lo. Sekarang kan tanda tangan lo mahal,” kelakar Anggi.
“wuuu...bisa aja, siip deh! Yaudah, baik-baik disana ya,”
“siip! Bye Delon!”
“Deliaaaa Nggi!”
“iya Del..bye!”
“bye!”
Klik!
“aish! Selalu aja manggil seenak udel.” Gerutuku.
“permisi, masih bisa minta tanda tangannya Mbak Delia?” sapa sebuah suara.
Aku mendongakkan wajahku ke sosok di depanku. “boleh,” sahutku.
Entah, apa aku mimpi, antara percaya dan tidak. Benarkah cowok ini?. Aku memakai kacamata yang sempat aku lepaskan tadi.
“Genta?” itulah kali pertama aku menyebutkan namanya langsung di depan orangnya sejak bertahun-tahun lalu.
Genta mengangguk lalu tersenyum. Kali ini bukan Genta yang aku kenal dahulu. Entah kemana kesan urakannya. Kaos merah dipadu jaket putih dan sepatu kets putih menambah kesan innocent cowok itu.
“punya waktu sebentar Mbak?” ucap Genta.
“mm...maksudnya?” jawabku gugup.
“hanya ingin mengajakmu minum sebentar sekalian interview,” sahutnya.
Akupun mengiyakan namun sebelumnya meminta izin ke orang EO untuk keluar.


Tempat yang kami datangi lumayan nyaman dan tak terlalu ramai. Genta memilih tempat yang agak jauh dari pintu masuk restorant. Viewnya juga indah. Sebuah bukit kecil nan hijau terlihat menyejukkan dan memanjakan mata pengunjung.
“jadi, mau pesen apa? Jus jambu?” tanya Genta.
“What? Bagaimana kamu tau? Tapi okelah, makannya samain aja deh.” Sahutku.
Aku melemparkan pandangan jauh ke arah perbukitan. Sesekali tatapan mata kami beradu dan membuatku salah tingkah. Entah, padahal perasaan ini sudah lama namun masih tetap sama rasanya. Sudah dua kali aku pacaran dan putus. Namun, aku tidak pernah merasakan perasaan ini dengan dua pacarku sebelumnya. Dan aku sadar, perasaan ini masih sama dan utuh untuk Genta.
Pelayan restopun kembali membawa pesanan kami.
“jadi, sekarang sudah sukses dong ya jadi penulis,” Genta memulai pembicaraan kami pada akhirnya.
Aku tersipu malu mendapat pujian dari Genta.
“biasa aja, lagian ini kan kali pertamaku Ta,”
“setidaknya cita-citamu jadi penulis tercapai dong ya?”
“cita-cita? Bagaimana kamu tau?” pertanyaan itu kembali terlontar dari mulutku.
“gimana ya?” Genta hanya tersenyum menatapku sembari mengaduk-aduk Capuccino-nya.
“oya, kamu kerja dimana?” tanyaku mengabaikan pertanyaan pada Genta sebelumnya.
“sejak lulus sarjana dua tahun lalu, aku masih bantu ayah di kantornya.”
“oya? Bisnisman dong ya,”
“kamu sendiri?”, “aku kerja di sebuah perusahaan sebuah tabloid terkenal disini, ya sekalian nyalurin hobi jadinya. Passion­-ku udah aku dapetin disitu.”
Genta mengangguk. “jadi, Senja gak bisa bersatu dengan Bintang ya endingnya? Sayang sekali loh Del,”
Aku tersentak. Genta menyebutkan dua nama tokoh dalam novelku.
“hmm..Bintang hanya bisa dilihat, terlalu susah untuk diraih,” aku tersenyum.
“kalau suatu hari kebetulan mereka bertemu, balik lagi saling jatuh cinta gimana?”
“tidak ada sebuah kebetulan Ta, semua adalah takdir. Yaa..Bintang kan sudah menghilang, jika takdir akhirnya mempertemukan mereka...”
“happy ending?” sergah Genta.
“Genta..” ucapku.
“Del, terlepas itu takdir atau kebetulan, cinta sejati apa kamu percaya?”
“entahlah,” aku  menggeleng.
“bahkan mungkin ini kedengarannya bakal lucu. Well! Aku udah lama memperhatikan kamu Del, dari jaman kita SMP. Kita memang sering berantem, tapi itu sanyalah salah satu cara agar aku bisa terus deket sama kamu. Karena..”
“karena??”
“karena aku selalu gak punya keberanian buat bilang ke kamu,”
“jadi...”
“ya! Aku suka sama kamu, udah dari dulu, aku tau kamu suka jus jambu karena kamu selalu memesannya di kantin tempat nongkrong cowok-cowok. Aku tau cita-citamu jadi penulis, aku selalu membaca cerpen atau buletin mingguanmu yang kamu tempelkan di mading sekolah. Yaah..konyol memang,”
“jadi selama ini gak Cuma aku yang stalk kamu dong ya?” aku keceplosan membeberkan aibku sendiri pada Genta.
“maksudnya? Jadi...” seru Genta.
Aku kembali tersipu malu.
“Genta, apa Bintang yang selalu diharapkan Senja bakal ditakdirkan bertemu dan kembali bersama dengan kisah yang lain?” tanyaku.
“mungkin,” Genta tersenyum dan perlahan meraih tanganku.
Mataku bersaput mendung, perasaanku meledak-ledak bahagia. Aku percaya ini takdirku. Hari ini Tuhan memberikan dua hadiah terindah. Cita-citaku hari ini terwujud dan novel pertamaku berhasil terbit. Hadiah kedua dan terindah adalah cinta pertamaku, Genta, hari ini takdir mempertemukan kami.
“jadi...tetep sad ending?” ucap Genta menggoda.
“hmmm...bakal jadi Dwilogi, novel kedua gimana? Senja dan Bintang bersatu.” Aku tertawa renyah. Genggaman kedua tangan Genta semakin erat.
Aku kembali melemparkan pandanganku ke perbukitan. Angin berdesir menerbangkan dan membelai rambut panjangku. Aku menatap Genta kemudian. Cowok itu bukan lagi anak SMP atau SMA yang aku kenal beberapa tahun lalu, dia juga bukan musuh bebuyutanku lagi. Dia adalah cowok dewasa sekarang.
“kamu terlihat manis dengan kacamatamu sekarang,” ucap Genta.
“kamu memuji atau menggodaku?” cibirku.
“mensyukuri anugrah Tuhan,” lanjutnya disusul tawa kami berdua.
Kebetulan tak akan pernah datang jika semuanya bukan karena takdir dan suratan Sang Kuasa. Hmm..ini bukan tentang kebetulan dan takdir, ini tentang cinta pertamaku. Segalanya dimulai dengan unik, meninggalkan kenangan manis dan berakhir dengan sebuah senyuman bahagia karena terwujudnya harapan akan penantian yang sangat panjang.


#&^%&%$%#%^^$^ :)

@TiyasWidyastuti

Kamis, 24 Januari 2013

53 Menit


Aku mulai menikmati kesibukan yang menyertaiku tiap pagi. Perlahan fajar menyingsing menggantikan peran sang malam. Sahutan kicau pipit semacam pertanda absen kedatangan mereka. Pukul 6 kurang 15 menit aku telah siap dengan setelan jas biru donker dengan kemeja putih berenda. Memasangkan sebuah bros biru muda adalah sentuhan terakhir dan taraaa...aku siap!
Seperti biasa, aku telah hapal dengan jadwal bus besar antar kota yang selalu membawaku ke tempat tujuan. Tak berapa lama bus besar dengan dua pintu itu tampak menyorotkan lampu kearahku, lampu sign kiri tampak berkedip dan yap! Dengan susah payah karena heels 7 sentiku akupun berhasil menjejakkan kakiku di dalam bus. Entah kenapa meskipun harus pelan dan tak bisa berlari cepat jika harus mengejar bus tapi aku suka dengan sepatu ber-heels lumayan tinggi. High heels selalu membuatku lebih percaya diri meskipun itu artinya aku akan lebih terlihat jenjang dengan tinggi tubuhku 168 cm.
Sial! Selalu penuh dan jarang sekali mendapat tempat. Terpaksa berdiri lagi? Ah! Keluhku. Aku merapat kedepan mencoba mencari celah, bau parfum bercampur asap rokok menyeruak begitu saja. Oke sekali, perjalanan satu jam ini akan kembali aku ‘nikmati’, batinku lagi. Kebanyakan penumpang bus adalah langganan, para pegawai, pekerja kantoran, guru, anak-anak sekolah.
“mbak duduk sini,” celetuk sebuah suara. Aku melirik sekilas, tanpa terlalu peduli aku hanya mengukirkan senyum 2 senti ke kiri dan 2 senti ke kanan seperti yang pernah aku tau dari sebuah seminar ESQ, aku lalu mengambil tempat duduk yang sudah beralih hak padaku. Akhirnya...
“thanks,” ucapku pendek.
Cowok sebelahku menatapku ramah. Wajahnya tampan, aku menerka umurnya kira-kira 25 tahun, sekitar itu. Tubuhnya tinggi atletis.
“Unik.” Ucapnya kembali. Deg! Aku terhenyak, bagaimana mungkin dia bisa menyebutkan namaku. Bahkan aku tak mengenal manusia asing ini.
Dahiku berkerut nyaris menyatu. Kembali melirik, tergelitik rasa penasaran aku memberanikan diri untuk bertanya.
“tau nama saya?” tanyaku. Wajah itu kembali menoleh mengukirkan sebuah senyum manis diwajah bersihnya, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.
“hanya menebak, golongan darah AB?” ucapnya lagi.
Sial! Ini apaan sih orang? Batinku mulai penasaran, bagaimana mungkin dia tau bahkan golongan darahku. Apa jangan-jangan diapun tau ukuran sepatuku, ukuran jeansku. Huhh!
“anda siapa?” aku kembali menautkan alisku, semakin terdorong rasa penasaran amat sangat.
“Dylan!” ucapnya pendek selalu disertai ukiran senyum yang mempermanis wajah tampannya.
Aku menerima uluran tangannya.
“entahlah, aku gak mudah tertarik dengan seseorang, tapi jika ada orang yang membuatku tertarik dengan mudah aku bisa tau namanya bahkan seperti tadi, golongan darahmu,” tawanya pecah seketika. Aku semakin heran. Kualihkan pandanganku keseluruh penumpang bus, tak terlalu ada yang memperhatikan percakapan aneh kami.
“saya gak ngerti maksud anda,” aku masih memperhatikan wajahnya.
“kamu unik, berbeda dari yang lain. Aku juga gak tau kenapa, ini hari kelima aku memperhatikanmu dan kesempatan bisa ngobrol sama kamu malah baru sekarang” Dylan kembali tersenyum. Ah orang ini benar-benar membuatku frustasi. Aku baru saja mengenalnya namun kata-kata yang keluar dari mulutnya justru membuatku luluh.
Unik! Plisss! Kamu mau kemakan omongan orang asing ini? Batinku kembali berdebat dengan akal sehatku yang sempat tidak bisa menerima kebetulan aneh ini.
“kerja dimana?” tanyanya. Aku yang sedari tadi bengong sempat kaget. Perjalanan masih panjang rupanya, tapi kenapa aku menikmati duduk bersebelahan dengan orang ini?
“di Bank Suasta.” Jawabku, “sorry, kenapa kamu aneh banget, kita baru loh ketemu dan bicara, tapi tanpa tedeng aling-aling kamu bilang kayak tadi, kamu gak lagi sakit kan?” entah apa yang membuatku bertanya konyol macam itu. Astagaa...
Aku merasakan desir aneh. Ritme jantungku tak teratur, buliran keringat muncul membasahi pelipisku. Ah, kenapa jadi deg-degan begini. Aku melirik cowok itu pelan, berharap dia tak menangkap basah pandanganku. Dia mengenakan jaket kulit coklat tua, Kemeja biru muda dipadu dengan dasi bermotif luriknya tersembunyi dibalik jaket yang melekat ditubuhnya, dia membuatku kembali salah tingkah.
“aku bingung mau ngomong apa, kali ini aku benar-benar suka sama seseorang dan itu kamu. Percaya cinta pada pandangan pertama? Itulah yang aku rasakan pertama kali melihatmu.” Ucap Dylan. Ah, senyum itu lagi. Cukup Dylan, kamu aneh! Umpatku.
“bagaimana kita bisa bertemu lagi?” entah partikel-partikel keberanian darimana yang aku dapatkan sehingga kata-kata itu meluncur deras dari sela bibirku.
Begooo Unik! Sergahku dalam hati.
“sorry,” lanjutku pelan. Aku yakin mukaku memerah macam kepiting rebus. Dylan sempat terkikik. Rasa canggung serasa menghinggapi rasa percaya diriku.
Aku berusaha mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menelusup ke relung kalbu secara perlahan. Dylan lagi-lagi memperhatikanku. Pandanganku terhenti pada kaca bus yang mulai basah. Gerimis baru saja menitik. Buliran airnya beradu dengan kaca bus, aku semakin larut dan asik menikmati hujan.
Aku melirik perlahan jam tanganku. Beberapa menit lagi sampai ke kantorku.
“hujan lumayan deras, kamu bawa aja ini. Oya, ini kartu namaku, aku harap ini bukan pertemuan kita terakhir. Aku suka kamu.” Dylan menyerahkan sebuah jaket kulit coklat tua yang ia lepaskan sebelumnya. Kemeja biru mudanya lebih memperlihatkan kegagahannya.
“mata kamu ngasih tau aku kalo kamu juga tertarik denganku, benar begitu?” kata-kata Dylan semacam peluru yang melumpuhkan rasa percaya diriku. Ingin rasanya aku menghilang tiba-tiba dari hadapan cowok aneh ini. Ah, dia menebak dengan tepat. Sial!
Aku menerima jaket itu dan tentu saja kartu nama yang ia selipkan di saku jaketnya. Jujur, dengan perasaan penuh harap, harapan yang teramat sangat untuk dapat melihatnya kembali.
“berharap saja tebakanmu terkahir kali benar, atau aku akan berpikir seribu kali dengan ucapan dari cowok aneh yang telah membuatku luluh dengan kata-katanya.” Aku tersenyum lalu bergegas turun.
Hujan semakin liar saja, berkejaran untuk sampai ke bumi. Aku memayungi tubuhku dengan jaket kulit Dylan tak mungkin juga aku memakainya karena tubuhkupun sudah terbalut dengan jas. Semerbak aroma parfumnya sungguh sangat sedap. Ah Dylan, kenapa aku harus bertemu kamu.


Perasaan resah sedari siang tadi kembali melanda. Dylan benar-benar membuat perasaanku hari ini berantakan. Aku memandangi jaket yang telah terlipat rapi dikasurku. Malam memancarkan pesona bintang yang tak lelah berkedip semacam menyapaku yang terus saja memandangi mereka dibalik jendela kamarku.
Dylan Anugrah Wijaya. Aku mengeja deretan kata-kata di kartu nama itu. Nomer hape yang tertera di kertas putih itu sudah sejak siang nangkring di phone book hapeku.
Tanganku tak hentinya memainkan hapeku. Sms tidak sms tidak sms tidak.
Aku memberanikan diri serat meyakinkan bahwa tindakan yang aku lakukan tak salah. Dylan pasti ke-geeran. Ah bodo amat deh.

To : Dylan
Ini nomerku, Unik, makasih buat jaketmu pagi tadi, berguna banget kok.
Aku harap kita bisa satu bus lagi besok, aku pengen balikkin jaket kamu.
J

Aku deg-degan sendiri dibuatnya. Apa yang baru saja kulakukan?. Apa yang akan Dylan pikirkan tentangku coba? Aku meremas guling bermotif real madrid-klub favoritku.
Tak berapa lama, nada pesan masuk memecah kegelisahanku.

From : Dylan
Aku jadi orang paling galau hari ini, aku pikir kamu gak akan pernah sms aku.
Aku janji, kita pasti ketemu besok. Jaket itu kamu simpan aja.
Aku suka kamu. Ini kali ketiga aku ucapkan, mungkin kamu berfikir aku cowok gila.
Aku gila karna kamu Unik.
J

Aku kaget menerima balasan tak terduga itu. Aku melonjak-lonjak kegirangan layaknya gadis cilik yang mendapat boneka Barbie baru. Aku mengulangi membaca sms Dylan baru saja. Sekali dua kali tiga kali, puluhan kali. Aku stres! Aku akui itu. Tubuhku terasa sangat capek hari ini namun aku hanya bisa memandangi jaket coklat tua milik Dylan. Sepertinya guling kesayanganku malam ini tergantikan posisinya untuk kupeluk.
“sumpah ini cowok aneh tapi sukses buat jantungku mau copot,” ucapku sendiri.
Malam itu aku saling berbalas sms dengan Dylan. Cowok aneh, ketemu kali pertama di bus, bilang suka, bikin frustasi dan sukses membuat malamku berantakan karena pikiranku kacau gara-gara dia.


Hari ini aku serasa lebih segar. Seragam batik kantor aku kenakan. Hari ini adalah hari Jumat. Aku berharap dia muncul lagi. Satu bus lagi dan aku bisa bisa lebih lama lagi mengobrol dengannya.
Aku sudah berdiri di halte tempatku menunggu ‘jemputanku’. Beberapa menit lagi bus itu pasti sampai.
Aku menarik napas panjang lalu menghelanya. Pagi cukup segar, kondisi cuaca dan hatiku sinkron. Sama-sama cerah ceria. Aku tersenyum sendiri membayangkan kekonyolanku. Ada banyak pertanyaan yang bakal aku lontarkan jika bertemu cowok aneh itu.
Bus melaju pelan mendekatiku yang sudah mengambil ancang-ancang untuk segera naik.
“hay Mbak,” sapa pak kondektur yang mulai hapal denganku.
“pagi Pak! Semangat!” aku mengepalkan tangan kananku dan mengangkatnya. Pak kondektur membalasnya dengan tawa ringan.
Begitulah caraku menyapa setiap orang. Aku bukan tipe orang yang ingin dikenal orang lain dengan kesan pertama yang angkuh. Aku selalu menunjukkan kepada mereka bahwa aku ini berbeda, aku tak seperti kesan kebanyakan orang yang terlihat macam eksekutif muda sukses atau pegawai yang sombong.
Aku mencari tempat kosong. Tak berhasil, selalu, semuanya penuh. Kuedarkan pandanganku kesemua penumpang bus, wajah itu tak juga kujumpai. Bahkan senyumnya yang ingin sekali kulihat tak juga muncul. Dylan, kamu dimana? Resahku. Senyum yang sempat membuatku berharap hari ini bakal ketemu pudar begitu saja.


Hari kamis waktu itu, 53 menit itu berlalu penuh arti. Kali pertama dan akhir dari sebuah pertemuan. Dylan, si cowok aneh yang muncul tiba-tiba kini menghilangpun tiba-tiba. Aku tak menemukan alamat rumah ataupun kantornya di kartu nama yang diberikannya kala itu. Hanya nomer ponsel yang sampai sekarangpun non aktif jika kucoba hubungi.
Bulan kedua sejak 53 menit itu. Di bus antar kota yang membawaku ke tempat kerja. Hanya jaket kulit coklat tua ini yang menjadi kenang-kenangan antara kami. Mungkin suatu saat nanti aku bisa menemuinya lagi, tetapi entah dimana bahkan sang waktupun tak bisa menjawabnya. Jembatan waktu-ya!, aku ingin sekali saja bertemu dan menyapanya, menatap wajahnya dalam-dalam dan membiaskan senyum terindah di wajahku untuknya, untuk dia yang sekali datang dalam hidupku dan sekali itu pula memberi arti tersendiri di celah relung kalbu.



~~Tewe