Aku mulai menikmati
kesibukan yang menyertaiku tiap pagi. Perlahan fajar menyingsing menggantikan
peran sang malam. Sahutan kicau pipit semacam pertanda absen kedatangan mereka.
Pukul 6 kurang 15 menit aku telah siap dengan setelan jas biru donker dengan kemeja
putih berenda. Memasangkan sebuah bros biru muda adalah sentuhan terakhir dan
taraaa...aku siap!
Seperti biasa, aku telah
hapal dengan jadwal bus besar antar kota yang selalu membawaku ke tempat
tujuan. Tak berapa lama bus besar dengan dua pintu itu tampak menyorotkan lampu
kearahku, lampu sign kiri tampak berkedip dan yap! Dengan susah payah karena
heels 7 sentiku akupun berhasil menjejakkan kakiku di dalam bus. Entah kenapa
meskipun harus pelan dan tak bisa berlari cepat jika harus mengejar bus tapi
aku suka dengan sepatu ber-heels lumayan tinggi. High heels selalu membuatku
lebih percaya diri meskipun itu artinya aku akan lebih terlihat jenjang dengan
tinggi tubuhku 168 cm.
Sial! Selalu penuh dan
jarang sekali mendapat tempat. Terpaksa berdiri lagi? Ah! Keluhku. Aku merapat
kedepan mencoba mencari celah, bau parfum bercampur asap rokok menyeruak begitu
saja. Oke sekali, perjalanan satu jam ini akan kembali aku ‘nikmati’, batinku
lagi. Kebanyakan penumpang bus adalah langganan, para pegawai, pekerja kantoran,
guru, anak-anak sekolah.
“mbak duduk sini,” celetuk
sebuah suara. Aku melirik sekilas, tanpa terlalu peduli aku hanya mengukirkan
senyum 2 senti ke kiri dan 2 senti ke kanan seperti yang pernah aku tau dari
sebuah seminar ESQ, aku lalu mengambil tempat duduk yang sudah beralih hak
padaku. Akhirnya...
“thanks,” ucapku pendek.
Cowok sebelahku menatapku
ramah. Wajahnya tampan, aku menerka umurnya kira-kira 25 tahun, sekitar itu.
Tubuhnya tinggi atletis.
“Unik.” Ucapnya kembali.
Deg! Aku terhenyak, bagaimana mungkin dia bisa menyebutkan namaku. Bahkan aku
tak mengenal manusia asing ini.
Dahiku berkerut nyaris
menyatu. Kembali melirik, tergelitik rasa penasaran aku memberanikan diri untuk
bertanya.
“tau nama saya?” tanyaku.
Wajah itu kembali menoleh mengukirkan sebuah senyum manis diwajah bersihnya,
memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.
“hanya menebak, golongan
darah AB?” ucapnya lagi.
Sial! Ini apaan sih orang?
Batinku mulai penasaran, bagaimana mungkin dia tau bahkan golongan darahku. Apa
jangan-jangan diapun tau ukuran sepatuku, ukuran jeansku. Huhh!
“anda siapa?” aku kembali
menautkan alisku, semakin terdorong rasa penasaran amat sangat.
“Dylan!” ucapnya pendek
selalu disertai ukiran senyum yang mempermanis wajah tampannya.
Aku menerima uluran
tangannya.
“entahlah, aku gak mudah
tertarik dengan seseorang, tapi jika ada orang yang membuatku tertarik dengan
mudah aku bisa tau namanya bahkan seperti tadi, golongan darahmu,” tawanya
pecah seketika. Aku semakin heran. Kualihkan pandanganku keseluruh penumpang
bus, tak terlalu ada yang memperhatikan percakapan aneh kami.
“saya gak ngerti maksud
anda,” aku masih memperhatikan wajahnya.
“kamu unik, berbeda dari
yang lain. Aku juga gak tau kenapa, ini hari kelima aku memperhatikanmu dan
kesempatan bisa ngobrol sama kamu malah baru sekarang” Dylan kembali tersenyum.
Ah orang ini benar-benar membuatku frustasi. Aku baru saja mengenalnya namun
kata-kata yang keluar dari mulutnya justru membuatku luluh.
Unik! Plisss! Kamu mau
kemakan omongan orang asing ini? Batinku kembali berdebat dengan akal sehatku
yang sempat tidak bisa menerima kebetulan aneh ini.
“kerja dimana?” tanyanya.
Aku yang sedari tadi bengong sempat kaget. Perjalanan masih panjang rupanya,
tapi kenapa aku menikmati duduk bersebelahan dengan orang ini?
“di Bank Suasta.” Jawabku,
“sorry, kenapa kamu aneh banget, kita baru loh ketemu dan bicara, tapi tanpa
tedeng aling-aling kamu bilang kayak tadi, kamu gak lagi sakit kan?” entah apa
yang membuatku bertanya konyol macam itu. Astagaa...
Aku merasakan desir aneh.
Ritme jantungku tak teratur, buliran keringat muncul membasahi pelipisku. Ah,
kenapa jadi deg-degan begini. Aku melirik cowok itu pelan, berharap dia tak
menangkap basah pandanganku. Dia mengenakan jaket kulit coklat tua, Kemeja biru
muda dipadu dengan dasi bermotif luriknya tersembunyi dibalik jaket yang
melekat ditubuhnya, dia membuatku kembali salah tingkah.
“aku bingung mau ngomong
apa, kali ini aku benar-benar suka sama seseorang dan itu kamu. Percaya cinta
pada pandangan pertama? Itulah yang aku rasakan pertama kali melihatmu.” Ucap
Dylan. Ah, senyum itu lagi. Cukup Dylan, kamu aneh! Umpatku.
“bagaimana kita bisa
bertemu lagi?” entah partikel-partikel keberanian darimana yang aku dapatkan
sehingga kata-kata itu meluncur deras dari sela bibirku.
Begooo Unik! Sergahku
dalam hati.
“sorry,” lanjutku pelan.
Aku yakin mukaku memerah macam kepiting rebus. Dylan sempat terkikik. Rasa
canggung serasa menghinggapi rasa percaya diriku.
Aku berusaha mengusir
perasaan aneh yang tiba-tiba menelusup ke relung kalbu secara perlahan. Dylan
lagi-lagi memperhatikanku. Pandanganku terhenti pada kaca bus yang mulai basah.
Gerimis baru saja menitik. Buliran airnya beradu dengan kaca bus, aku semakin
larut dan asik menikmati hujan.
Aku melirik perlahan jam
tanganku. Beberapa menit lagi sampai ke kantorku.
“hujan lumayan deras, kamu
bawa aja ini. Oya, ini kartu namaku, aku harap ini bukan pertemuan kita
terakhir. Aku suka kamu.” Dylan menyerahkan sebuah jaket kulit coklat tua yang
ia lepaskan sebelumnya. Kemeja biru mudanya lebih memperlihatkan kegagahannya.
“mata kamu ngasih tau aku
kalo kamu juga tertarik denganku, benar begitu?” kata-kata Dylan semacam peluru
yang melumpuhkan rasa percaya diriku. Ingin rasanya aku menghilang tiba-tiba
dari hadapan cowok aneh ini. Ah, dia menebak dengan tepat. Sial!
Aku menerima jaket itu dan
tentu saja kartu nama yang ia selipkan di saku jaketnya. Jujur, dengan perasaan
penuh harap, harapan yang teramat sangat untuk dapat melihatnya kembali.
“berharap saja tebakanmu
terkahir kali benar, atau aku akan berpikir seribu kali dengan ucapan dari
cowok aneh yang telah membuatku luluh dengan kata-katanya.” Aku tersenyum lalu
bergegas turun.
Hujan semakin liar saja,
berkejaran untuk sampai ke bumi. Aku memayungi tubuhku dengan jaket kulit Dylan
tak mungkin juga aku memakainya karena tubuhkupun sudah terbalut dengan jas.
Semerbak aroma parfumnya sungguh sangat sedap. Ah Dylan, kenapa aku harus
bertemu kamu.
Perasaan resah sedari
siang tadi kembali melanda. Dylan benar-benar membuat perasaanku hari ini
berantakan. Aku memandangi jaket yang telah terlipat rapi dikasurku. Malam
memancarkan pesona bintang yang tak lelah berkedip semacam menyapaku yang terus
saja memandangi mereka dibalik jendela kamarku.
Dylan Anugrah Wijaya. Aku
mengeja deretan kata-kata di kartu nama itu. Nomer hape yang tertera di kertas
putih itu sudah sejak siang nangkring di phone book hapeku.
Tanganku tak hentinya
memainkan hapeku. Sms tidak sms tidak sms tidak.
Aku memberanikan diri
serat meyakinkan bahwa tindakan yang aku lakukan tak salah. Dylan pasti
ke-geeran. Ah bodo amat deh.
To : Dylan
Ini nomerku, Unik, makasih
buat jaketmu pagi tadi, berguna banget kok.
Aku harap kita bisa satu
bus lagi besok, aku pengen balikkin jaket kamu.
J
Aku deg-degan sendiri
dibuatnya. Apa yang baru saja kulakukan?. Apa yang akan Dylan pikirkan
tentangku coba? Aku meremas guling bermotif real madrid-klub favoritku.
Tak berapa lama, nada
pesan masuk memecah kegelisahanku.
From : Dylan
Aku jadi orang paling
galau hari ini, aku pikir kamu gak akan pernah sms aku.
Aku janji, kita pasti
ketemu besok. Jaket itu kamu simpan aja.
Aku suka kamu. Ini kali
ketiga aku ucapkan, mungkin kamu berfikir aku cowok gila.
Aku gila karna kamu Unik.
J
Aku kaget menerima balasan
tak terduga itu. Aku melonjak-lonjak kegirangan layaknya gadis cilik yang
mendapat boneka Barbie baru. Aku mengulangi membaca sms Dylan baru saja. Sekali
dua kali tiga kali, puluhan kali. Aku stres! Aku akui itu. Tubuhku terasa
sangat capek hari ini namun aku hanya bisa memandangi jaket coklat tua milik
Dylan. Sepertinya guling kesayanganku malam ini tergantikan posisinya untuk
kupeluk.
“sumpah ini cowok aneh
tapi sukses buat jantungku mau copot,” ucapku sendiri.
Malam itu aku saling
berbalas sms dengan Dylan. Cowok aneh, ketemu kali pertama di bus, bilang suka,
bikin frustasi dan sukses membuat malamku berantakan karena pikiranku kacau
gara-gara dia.
Hari ini aku serasa lebih
segar. Seragam batik kantor aku kenakan. Hari ini adalah hari Jumat. Aku
berharap dia muncul lagi. Satu bus lagi dan aku bisa bisa lebih lama lagi
mengobrol dengannya.
Aku sudah berdiri di halte
tempatku menunggu ‘jemputanku’. Beberapa menit lagi bus itu pasti sampai.
Aku menarik napas panjang
lalu menghelanya. Pagi cukup segar, kondisi cuaca dan hatiku sinkron. Sama-sama
cerah ceria. Aku tersenyum sendiri membayangkan kekonyolanku. Ada banyak
pertanyaan yang bakal aku lontarkan jika bertemu cowok aneh itu.
Bus melaju pelan
mendekatiku yang sudah mengambil ancang-ancang untuk segera naik.
“hay Mbak,” sapa pak
kondektur yang mulai hapal denganku.
“pagi Pak! Semangat!” aku
mengepalkan tangan kananku dan mengangkatnya. Pak kondektur membalasnya dengan
tawa ringan.
Begitulah caraku menyapa
setiap orang. Aku bukan tipe orang yang ingin dikenal orang lain dengan kesan
pertama yang angkuh. Aku selalu menunjukkan kepada mereka bahwa aku ini
berbeda, aku tak seperti kesan kebanyakan orang yang terlihat macam eksekutif
muda sukses atau pegawai yang sombong.
Aku mencari tempat kosong.
Tak berhasil, selalu, semuanya penuh. Kuedarkan pandanganku kesemua penumpang
bus, wajah itu tak juga kujumpai. Bahkan senyumnya yang ingin sekali kulihat
tak juga muncul. Dylan, kamu dimana? Resahku. Senyum yang sempat membuatku
berharap hari ini bakal ketemu pudar begitu saja.
Hari kamis waktu itu, 53
menit itu berlalu penuh arti. Kali pertama dan akhir dari sebuah pertemuan.
Dylan, si cowok aneh yang muncul tiba-tiba kini menghilangpun tiba-tiba. Aku
tak menemukan alamat rumah ataupun kantornya di kartu nama yang diberikannya
kala itu. Hanya nomer ponsel yang sampai sekarangpun non aktif jika kucoba
hubungi.
Bulan kedua sejak 53 menit
itu. Di bus antar kota yang membawaku ke tempat kerja. Hanya jaket kulit coklat
tua ini yang menjadi kenang-kenangan antara kami. Mungkin suatu saat nanti aku
bisa menemuinya lagi, tetapi entah dimana bahkan sang waktupun tak bisa
menjawabnya. Jembatan waktu-ya!, aku ingin sekali saja bertemu dan menyapanya,
menatap wajahnya dalam-dalam dan membiaskan senyum terindah di wajahku
untuknya, untuk dia yang sekali datang dalam hidupku dan sekali itu pula
memberi arti tersendiri di celah relung kalbu.
~~Tewe