follow me Kakaa

Rabu, 18 April 2012

salahkah jika kita berbeda?


Mario menatap bahagia gadis itu. Balutan kebaya merah menyala dan jilbab sanggulnya menambah anggun paras itu. Siapapun suaminya pasti beruntung mendapatkannya. Dia kira dia tak salah menjadikannya ratu dihatinya.
Mario masih ingat saat pertama kali mereka bertemu. Di sebuah aula kampus, jilbabnya berkibar diterpa angin yang menerobos lewat jendela-jendela besar aula.
Gadis itu menyapanya dengan senyum dan pandangannya yang tertunduk malu. Ah, gadis itu benar-benar membuatnya jatuh hati bahkan pada pandangan pertama. Senyumnya meneduhkan hati. Jilbabnya panjang dan indah.
“maaf, aku Cuma mau menyerahkan proposal yang kamu minta kemarin. Aku baru saja menyelesaikannya, mungkin sebaiknya kamu cek dulu sebelum diajukan.”gadis itu tersenyum sembari menyerahkan snelhecter biru.
Mario menerimanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya pada wajah yang cantik dan teduh itu.
“terima kasih, jadi kamu yang tugas buat proposal kegiatan ini?” tanyanya pelan. Sungguh, baru kali ini ada seorang wanita yang membuatnya begitu penasaran.
Gadis itu mengangguk pelan.
Mario mengulurkan tangan. “Mario Agustian,” ucapnya singkat ,memperkenalkan diri.
Dia tersenyum lalu menangkupkan kedua tangannya. “Anisa, aku sudah tau kamu, maaf, aku gak biasa berjabat tangan dengan seseorang yang bukan muhrimku,” jawabnya sopan.
Mario menarik tangannya canggung dan tersenyum, berpura-pura menggaruk rambut yang tak gatal sama sekali.
Sial! Seharusnya kamu gak sebodoh itu!
“oya Mario, aku pergi dulu.” Pamitnya.
Mario menganggukan kepala lalu tersenyum simpul, memandanginya berlalu dari hadapannya. Jilbab merah hati lagi-lagi berkibar tersibak angin.
Siang itu adalah awal Mario merasakan perasaan ini. Perasaan yang begitu menggoda. Ya, cinta! Tapi apakah secepat itu? Dengan gadis berjilbab itu?


Mario sibuk membolak-balikkan Al-kitab yang digenggamnya. Sesekali matanya menyapu ke dalam tempat ibadah di depannya. Kampus siang itu lumayan ramai karena ada kegiatan yang dilakukan rutin setiap hari jumat di masjid kampus.
Anisa melangkah pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum manis pada Mario, pacarnya.
Sejak 3 bulan lalu, perkenalan mereka di kampus, membuat hubungan mereka semakin dekat. Bahkan, Mario berani menyatakan perasaannya setelah tiga minggu PDKT.
Awalnya, Anisa menolak. Tapi gadis itu tidak bisa membohongi hati kecilnya jika dia punya perasaan yang sama dengan pemuda tampan itu.
“mau kemana?” ucap Anisa. Tasnya diselempangkan dibahu kanannya.
“makan yuk, ini kan jam makan siang.” Ajak Mario.
“boleh,”
Mereka bergegas menuju kantin kampus. Mario berusaha menggenggam tangan Anisa, namun secepat kilat Anisa menjauhkan tangannya.
“maaf Nis, khilaf,”
“inget Rio, kita belum muhrim,” Anisa tertawa renyah pada kekasihnya.
“Cuma mau ngetes aja,” Mario tersenyum jahil kearah gadis ayu itu.
Anisa membalasnya dengan memukul kepala Mario menggunakan gulungan kertas yang sedari tadi dibawanya.
“ampun Ustadz,” seru Mario yang berlari kecil mendahului Anisa.
“bukan rio, Ustadzah yang bener, kalau Ustadz itu buat cowok.” Jawab Anisa.
“kalau begitu aku mau deh dipanggil Ustadz, hehehe”
Anisa tersenyum geli melihat tingkah Mario yang selalu membuatnya tertawa.


Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anisa masih menunggu angkot langganannya datang menjemputnya. Sesekali ia melirik kearah jam tangan silver yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
15menit lebih. Angkot tak juga muncul padahal sudah hampir menjelang maghrib. Anisa sudah janji untuk berbuka puasa di rumah dengan keluarganya.
Sebuah klakson mobil membuyarkan kegalauan Anisa. Mobil jeep itu kini menepi. Anisa tau siapa empunya.
Kaca mobil perlahan terbuka. Senyum itu mengembang sepeerti biasa menyapa gadis berjilbab itu. Mario turun dari mobil lalu mendekat ke Anisa.
“udah sore, aku anterin pulang yuk?” serta-merta Mario membukakan pintu mobilnya.
Anisa tertawa kecil melihat perlakuan Mario.
“terima kasih Rio, kamu kok tau aku ada disini?” tanya Anisa.
Mario tertawa sembari mengangkat bahunya. Mobil melaju kencang menerobos pohon-pohon yang berderet rapi disepanjang jalan. Kilatan cahaya lampu jalan yang mulai menyala menjelang malam menambah pesona indah sore itu.
“aku ragu,” ucap Anisa pelan. Dia meremas jari-jarinya, wajahnya menyiratkan kegelisahan.
“tentang hubungan kita? Kenapa Nis? Kita saling mencintai, kamu tau itu,” sergah Mario, nada suaranya agak meninggi.
“tapi Rio, bagaimana dengan orang tuaku? Orang tua kamu?”
Mario tertunduk sesaat lalu kembali berkonsentrasi menyetir. Dia tahu, orang tua mereka tak akan pernah setuju dengan hubungan ini sampai kapanpun, bahkan sampai kiamatpun mereka akan menentangnya.
Mereka menghabiskan sisa perjalanan dalam diam.
Tak berapa lama sampailah di depan rumah Anisa. Mario membukakan pintu mobilnya untuk Anisa.
“terima kasih untuk hari ini, aku harap semua yang akan tejadi nanti adalah yang terbaik buat kita,” Anisa berlalu dari hadapan Mario dan menghilang dibalik pintu rumah besar itu.
Mario menatap nanar gadis yang benar-benar dicintainya itu. Bagaimana mungkin ini terjadi sedangkan hal ini tidaklah adil untuk mereka. Tuhan menganugerahkan cinta pada hatinya tapi apakah salah cintanya jatuh pada Anisa? Apakah berbeda agama itu salah dalam cinta?


Anisa melangkah perlahan kedalam rumah. “Assalamualaikum..” sapanya.
“waalaikumsalam..” sahut suara di dalam rumah.
“eh Abi, Nisa pulang,” Nisa meraih tangan abinya lalu menciumnya patuh bergantian dengan Uminya yang sedang duduk disamping abi.
“kamu pulang dengan pemuda itu lagi Nis?” tanya abinya dengan nada serius.
Anisa tau bakal kemana arah pembicaraan abinya kalau sudah membahas tentang hubungannya dengan Mario.
“Nis, kamu kan tau kalau...”
“kalau hubungan beda agama gak boleh? Selamanya gak sepaham itu gak bisa bersatu? Kata siapa bi?” sergah anisa kesal. Air matanya tumpah begitu saja.
“Anisa! Gara-gara kamu berhubungan dengan dia kamu juga sudah berani membentak abimu sendiri? Ingat Nis, kita muslim! Kepercayaan kita dan dia berbeda, pikirkan baik-baik hal ini semisal kalian berkeluarga dan punya anak nanti?!”
“kenapa selalu itu yang abi perdebatkan? Apa cinta ini salah? Siapa yang memberi perasaan ini bi? Bahkan Anisa gak bisa mencegah ini semua! Abi gak pernah mengerti Nisa!”
“Nisa cukup!” bentak umi.
“umi sama saja dengan abi! egois!” Anisa berlari ke kamarnya.
“kamu memang keras kepala Nis, pokoknya Abi tidak setuju kamu dengan dia! Abi sudah pilihkan yang terbaik buat kamu. Dengar Abi, Nisa!” seru Abi.
Nisa melepas kerudungnya. dia menghempaskan tubuhnya dikasur. Air matanya semakin membanjir. Dia tidak bisa menerima ini dengan akal sehat. Cinta tidak akan salah, bukankah cinta datang atas kehendak Sang Maha Kuasa? Kenapa cinta harus bersyarat? Bukankah ini menyakitkan? Pertanyaan itu terus menghujam dalam hatinya.
“aku benar-benar cinta sama Mario Ya Allah, apa aku salah?” isaknya pelan.


Mario melangkahkan kakinya cepat-cepat menuju taman kampus yang berada tepat dibelakang fakultas kedokteran tempatnya kuliah.
“hai Nis,” sapanya ramah.
“Rio,” jawab Anisa pendek.
“udah lama? Maaf tadi kuliahnya agak lama, kamu mau makan? Ayok kita ngobrol di kantin aja,”
“gak usah Rio, kita ngomong disini aja.”
“ayolah, ada apa sayang? Kamu kenapa?”
Anisa tak langsung menjawab. Kedua bola matanya bersaput mendung. Buliran air matanya tak mampu lagi dicegah, menetes dikedua pipinya.
“Nis?”
“Mario, aku sayang banget sama kamu, bahkan aku gak bisa lagi ngasih tau ke kamu seberapa besar perasaanku ke kamu. Tapi..tapi..” nada suara Anisa bergetar.
“Anisa..apa ini tentang masalah..”
“iya..aku pikir kita akhiri aja semuanya Mario, aku gak mau ada sesuatu yang terjadi dengan keluarga kita kalau kita tetap mempertahankan hubungan ini,”
“tapi Nis, kita bisa bicarakan hal ini dengan orang tua kita. Aku rasa kita sudah sama-sama dewasa untuk masalah ini, kita beritahu ke semua orang kalau agama bukanlah penghalang cinta kita. Kita tetap bahagia dengan hidup kita, iya kan Nis?”
Anisa menatap lekat wajah mario. Mata Mario berkaca-kaca memohon padanya.
“aku mohon Mario, ini semua yang terbaik buat kita. Aku yakin kamu bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dari aku.” Anisa mengusap air matanya yang semakin membanjir dengan punggung tangannya.
“tapi Nis...” Mario tak lagi melanjutkan kata-katanya. Dia seolah merelakan kepergian Anisa dari hadapannya dan mungkin dari hatinya.
Anisa mungkin benar. Tetapi jika memang ini jalan yang terbaik, apakah aku sanggup menjalaninya? Apakah aku sanggup hidup tanpa kamu? Kamu yang aku cinta Nis.


“Hai Rio..” sapa sebuah suara.
Lamunan Mario serta merta berantakan. Dia tahu pasti siapa pemilik suara itu.
“Anisa..” Mario tersenyum
“terima kasih udah menyempatkan waktu kamu buat dateng di acara pernikahanku. Aku harap kamu segera menyusul ya, oya gimana wisuda kamu?” ada nada suara berat dalam ucapan Anisa.
“Puji Tuhan. Wisudaku lancar minggu kemarin Nis, sekarang aku resmi jadi dokter,”
“alkhamdulillah...”
“selamat ya, semoga Tuhan memberkati pernikahanmu dengan Fauzan.” Kata Mario.
“akupun selalu mendoakanmu, aku tinggal ya,” Anisa melangkah berat, matanya yang sejak tadi berkaca-kaca ia tutupi dengan bercandaan ringan.
Mario mengangguk. Dia kembali meneguk air sirup yang dipegangnya sedari tadi.

Nisa...aku bahagia melihatmu bahagia meskipun itu bersama orang lain. Aku masih cinta kamu, cinta yang sama sejak pertama kali kita bertemu, walaupun cintamu telah terbagi atau mungkin berpindah kelain hati. Aku selalu berdoa demi kebahagianmu Nisa...
Biarlah perasaan ini cukup aku yang tahu dan Tuhan saksinya, selamat tinggal Nisa...

Mario...mungkin kamu gak akan pernah tau kalau cinta ini masih ada. Mungkin aku akan belajar mencintai suamiku walaupun itu susah tetapi menghilangkan bayangmu dalam hatiku justru lebih sulit.
Aku harap kamu bisa mendapatkan penggantiku,yang lebih baik dariku dan lebih bisa mencintai kamu...saat rasa sayang ini masih ada, ijinkan aku untuk terakhir kalinya meskipun dalam hati untuk bilang “AKU CINTA KAMU, MARIO AGUSTIAN..”



tiyaswidy.blogspot.com

Sabtu, 14 April 2012

Dari kami, untuk Tuan berdasi :)


 Pagi datang menyambut dengan senyumnya yang cerah
Secerah senyum kami, orang kecil, pada harapan yang tak pernah putus
Pada harapan-harapan besar setiap pagi untuk mendapatkan se sen rupiah
Pada harapan-harapan besar setiap pagi demi sesuap nasi
Kami, orang kecil melihatmu bersedan mewah melintasi jalan beraspal
Dengan mobil-mobil mewah tak bernoda yang menyumbangkan polusi
Polusi yang setiap hari kami rasakan, udara sesak di kolong jembatan
Hai Tuan berdasi, apa kalian pernah memikirkan nasib kami, orang kecil?
Untuk tuan berdasi, pejabat negara, bukan! Kacung negara? Mungkin!
Untuk tuan berdasi, tak pernahkah kalian berpikir? 
karena kami disini kalian ada diatas
Mempermainkan uang rakyat, mengakali jabatan untuk jadi raja
Ibarat Tuan pedal sepeda kanan, kamilah pedal sepeda kiri yang berada dibawah
Ibarat Tuan roda yang ada diatas, kamilah roda yang ada dibawah,
yang sedang merasakan tajamnya kerikil kehidupan
Tahukah hai Tuan Berdasi?
kami memang tak berpendidikan tinggi sama seperti Tuan
Anak kami 3, si SD tak bersepatu kesekolah
Si SMP tak mampu kami belikan seragam baru hingga putus sekolah
Si SMA, tidak! Dia tak pernah sampai SMA, Dia membantuku, membantu kami, orang kecil juga
Hai Tuan berdasi, apakah kalian tidak malu mengatasnamakan rakyat karena jabtan yang diamanahkan pada kalian
Tapi nyatanya? Apa kontraprestasinya pada kami, yang telah mempercayakan Tuan duduk manis di kursi-kursi mahal dan ruang ber-AC?
Bahkan toilet kalianpun lebih mewah dari gubuk kardu kami
Tuan, mungkin jika Tuan sesekali merasakan jadi roda yang ada dibawah,
Tuan akan merasakan betapa hidup tidak seperti yang tuan rasakan saat ini, tanpa sedikitpun menoleh pada kami, orang kecil tak berpendidikan




@TiyasWidyastuti

Selasa, 10 April 2012

Cowokku Idola


Siapa yang gak kenal dia?. Cowok yang juga kapten tim futsal sekolah. Juara olimpiade kimia se-propinsi, ditambah lagi fisik dia yang perfect banget. Tingginya sekitar 175 sentimeter, proposional lagi. Plus lagi dia adalah anak dari kepala sekolah SMA-ku. Kurang apa coba?.
Semua cewek so’pasti gimana caranya terlihat menarik di depan dia. Bahkan segala macam cara dipakai Fita-cewek termodis dan terpopuler di sekolah-untuk bisa buat dia tertarik. Tapi?. Ibarat tu cowok bunga, mereka lebahnya. Apa gak kebalik ya?.
Aku bener-bener mimpi!. Dia sekarang ada didepanku!. Senyum-maut-nya yang innocent memerlihatkan deretan giginya yang putih dan tertata rapi. Tubuhnya wangi lagi.
Tapi sayang, dia ke kelasku bukan untuk menemui aku. Jangankan ketemu!. Kenal aku aja boro-boro.
“jangan lupa kasih tau anak-anak yang lain, pulang sekolah kumpul buat latihan. Pertandingan minggu depan kita mesti menang. Kita sudah dapat imej jadi juara bertahan tiap tahunnya. Kali inipun kita harus menang!. Oke..thanks ya Di!” ucap Kak Alvin.
“siap Kak!” tukas Abdi.
Kak Alvin, dia beranjak pergi. Abdi manggut-manggut menerima perintah dari kapten tim futsalnya. kali ini aku coba memberanikan diri menanyakan sesuatu kepada Abdi.
“Ehm…Di, mau ada pertandingan futsal ya?” tanyaku sembari mendekati meja Abdi.
“heh?? Kamu nanya? Sama siapa?” sergahnya lalu tertawa kearahku.
“sama kamu lah, sama siapa lagi?…” jawabku polos.
“helloooo…MISS RUMUS!! Aku tau kamu nanya ke aku, tapi saranku sih kamu belajar aja deh di rumah. Gak penting loh pertandingan futsal ketimbang buku-buku tebel temen kamu itu.oya kalaupun kamu mau nonton nih, lepas aja kacamata kudamu. Bikin orang ilfil tau gak?!”
Kata-kata Abdi serasa ribuan jarum yang mengarah padaku dan siap menancapkan ujung-ujung lancipnya di tubuhku. Sakit!.
Aku merasakan air mataku meleleh merayapi pipiku. Selalu begitu. Aku tetap gak dianggap. Kapan aku gak dibilang culun, cupu?. Ada yang salah denganku yang gak pernah sekalipun ganggu mereka. Aku juga pengen seperti yang lain yang punya teman, bukan teman yang dibutuhkan hanya saat mereka ingin menyalin tugas-tugasku.
Aku berlari keluar kelas. Kulihat Abdi masih tetap menertawaiku disambut koor tawa anak-anak lainnya. Aku terus berlari ke arah toilet.
“aduh!” seruku. Kacamataku terjatuh entah kemana.
“heei…hati-hati dong,” seru seorang cowok yang tadi aku tabrak. Ku seperti kenal dengan dia, tapi…
“ma..maaf..” aku buru-buru dan terus berlari tanpa menghiraukan kacamataku yang tadi sempat terjatuh.


“huhft…akhirnya sampai rumah juga!” Aku melempar tasku ke kasur. Badanku serasa pegal-pegal karena kegiatan hari ini terlalu membuat energiku terkuras.
“eh, anak Bunda udah pulang..lho? kacamatamu mana?”
Bunda tiba-tiba masuk ke kamar. Aku merebahkan diri. Pfuihh…
“eh…Bunda, iya, tadi jatuh terus gak tau ilang dimana.” Bohongku. Maaf ya Bun…
“ilang? Koq bisa?” bunda membelai rambutku. Aku gak kuat menahan perasaan yang sedari tadi mengganjal di hatiku. Air mataku lagi-lagi menetes.
“Bunda…Faya benci!”
“benci kenapa?”
“kenapa sih semua orang seneng banget ngejekin Fay? Fay jelek, jadul, kacamata Fay dibilang kacamata kuda, udah gitu Fay dipanggil miss rumus. Kan gak lucu Bun? Lagian Fay pengen kaya Fita atau Sandra. Cantik, populer, banyak temennya…huhuhuu..” Aku semakin terisak dipangkuan bunda.
“kamu ini lucu. Makanya sesekali itu bergaul, bersosialisasi sama temen-temen kamu. Terus tentang penampilan kamu…Bunda tau harus gimana,” lagi-lagi bunda tersenyum.
“bundaaa….” Aku memeluk erat bunda.
Bunda emang the best buatku. Sejak kakak perempuanku meninggal dalam kecelakaan setahun lalu, bunda paling takut kalau ada sesuatu terjadi denganku.


Keesokan harinya.
“yaah…koq jadinya aneh begini Bun? Tuh Fay keliatan aneh di cermin kan?” cecarku.
“siapa bilang? Kamu cantik koq,” kata bunda sembari menyisir rambut panjangku yang tidak lagi aku kepang.
“iya..tapi apaan nih? pake lensa kontak? Bando? Kan panas bun kalau rambutnya gak diikat.”
“percaya deh sama Bunda.” Bunda meyakinkanku lalu kembali tersenyum.


Aku menyusuri koridor sekolah yang masih agak sepi. Mengarahkan pandanganku ke arah lapangan basket di sebelah kanan tempatku berjalan. Dua orang siswa sibuk mendrible bola dan men-shootnya.
Aku menyapukan pandanganku ke sudut lain. Kak Alvin. Aku lihat dia sedang berdiri menatap ke arah mading yang berjarak sekitar lima meter dari tempatku berdiri. Dia sempat menoleh ke arahku. Ya Tuhan...cool banget.
“hei...kenapa melamun pagi-pagi?! Kesambet non,” sapanya padaku. Aku masih sedikit tak percaya. Aku menolehkan kepalaku ke belakang. Tidak ada siapapun.
“nyari siapa? Aku nyapa kamu lagi,” Kak Alvin melemparkan sebuah senyuman dibibirnya. Senyumnya manis.
“A..aku Kak?” Aku mengarahkan telunjuk ke wajahku sendiri. Masih dalam keadaan kaget dan gak menyangka. Sekarang beneran aku merasa jantungku berpacu lebih cepat dari normalnya.
“dasar hobi melamun kamu, kamu bukannya temen satu kelas Abdi?”
What!? Dia tau kalau aku teman Abdi.
“hey..” Kak Alvin melambaikan tangannya di depan wajahku. “dasar aneh..ya udah, sampai ketemu ya,” Kak Alvin berlalu sedangkan aku masih terpaku menatap kepergiannya.
Aku bersenandung lirih ke kelas.
Di kelas.
Beberapa pasang mata penghuni kelasku kini menatap aneh ke arahku yang terdiam dipintu kelas.
Mereka pasti bakal menertawakan aku lagi. Pikirku.
“Fay? Kamu Faya kan?” Abdi-si usil- berlari mendekat padaku.
“iya lah, kenapa? Ada yang salah? Kamu pasti mau ngetawain aku kan?” ucapku sembari melihat penampilanku begitu juga Abdi.
“bukan Fay, bukan! Sumpah, kamu beda banget hari ini, kamu cantik banget Fay.”
Oh God! Abdi kali ini ngatain aku beda? Gak ngata-ngatain lagi?. Bunda benar.
“beda gimana?” aku lalu bergegas menuju mejaku.
“penampilan kamu lah,” Abdi mengekor di belakangku.


Bel pulang sekolah nyaring berbunyi bersahutan dengan gaduh di kelasku menyambut waktu pulang sekolah. Tiba-tiba Abdi menghampiri mejaku.
 “ehm Fay, kamu pulang sendiri?” tanyanya.
“biasanya juga gitu kan? Ngangkot. Ada apa?” aku masih sibuk membereskan beberapa buku.
“aku bantuin ya biar cepet,” Abdi tersenyum lalu sibuk membantuku. Aneh! Dia itu makhluk super ‘paling’ di kelasku. Paling jail, iseng, nyebelin tapi sekarang jadi 180o berbalik dari biasanya Cuma gara-gara penampilanku hari ini?. Oh Bunda..it’s magic.
“udah yuk,” katanya kemudian.
“thanks ya Di,” aku beranjak pergi meninggalkan kelas dan berlari kecil menuju gerbang sekolah.
Tak berapa lama Abdi datang dengan motornya lalu menyerahkan helm padaku.
“buruan, keburu hujan nih,”
“gak mau! Lagian mana ujan? Mendung aja kagak, biasanya aku juga pulang sendiri. Lagian kamu biasanya paling suka ngejailin aku, sekarang malah sok baik gitu.” Tukasku yang mulai agak sedikit terganggu dengan perubahan sikap Abdi.
“Fay, plis dong jangan bahas itu lagi.” Sergahnya.
Aku terpaksa menerima tawaran Abdi.


“Bun, tau gak? Gara-gara make overnya Bunda. Fay jadi aneh tau sama sikap Abdi. Dia itu jadi sok-sok perhatian gitu sama Fay. Fay kan sedikit risih sama sikapnya,” aku kembali memasukkan pastel udang kemulutku sedangkan bunda sibuk dengan sulaman ditangannya.
“bagus dong, katanya kamu pengen banyak temen. Abdi aja yang biasanya usil jadi naksir sama kamu.” Bunda tersenyum.
“bunda nih, Fay kan sukanya sama Kak Alvin,”
“iya bunda tau, tapi hak abdi dong mau suka sama siapa,”


“Fay, besok datang ya,” kata Abdi yang datang tiba-tiba saat aku lagi sibuk dengan soal fisika dari Pak Fuad.
“apaan?”
“yaah..tuh kan kupernya ketauan. Penampilan udah oke tapi...”
“tapi apa?! Kalau mau ganggu nanti aja deh Di,” aku sedikit mendorong tubuh Abdi menjauh dari tempatku duduk.
“bentar deh, kamu pasti tertarik, pokoknya besok kamu harus datang ke pertandingan futsal seolah kita jam 4 sore. Oke.” Abdi pergi.
Yes...akhirnya ada alasan aku buat datang liat Kak Alvin.


Aku masuk ke GOR tempat pertandingan futsal dan memilih tempat duduk di deret kedua dari depan, sengaja biar bisa lebih jelas liat wajah Kak Alvin.
“Fay..datang juga. Oya kenalin nih ketua tim futsal kita tapi aku yakin kamu pasti udah tau. Kak Alvin  kenalin dia Faya.” Kata Abdi.
Kak Alvin menjabat tanganku seraya tersenyum. Senyum yang selalu bikin cewek-cewek terhipnotis sama dia.
“Fay, jangan ngelamun gitu dong.” Sergah Abdi membuyarkan lamunanku.
“eh...iya Di, maaf Kak,” tukasku. Aku berusaha jaga sikap biar gak keliatan salting di depan Kak Alvin.
“Kak, Fay ini calon pacarku lho..” gurauan Abdi membuatku bete.
Kak Alvin hanya ber-o ria. Sial si Abdi apa-apaan coba pakai ngomong calon pacar. Mana di depan Kak Alvin.
Pertandingan tak berapa lama dimulai. Sekitar 15menit skor lawan mengimbangi yaitu 1-1. Kak Alvin menguasai bola, pihak lawan sempat kebingungan dengan serangan Kak Alvin. Bola melambung tinggi dan mengenai tiang gawang lawan sebelah kanan. Penonton bersorak-sorai tegang. Ternyata bola yang mengenai tiang meleset jatuh kedalam gawang tanpa dapat dicegah oleh keeper lawan dan skorpun kembali mengisi papan skor sekolahku. Hingga pertandingan berakhir kedudukan sekolahku lebih tinggi 2 poin dari SMA lawan.
Yee...sorak-sorai kemenangan menggema di GOR. SMAku seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu menjadi juara bertahan.
Aku melihat Kak Alvin dikelilingi cewek yang bergantian menjabat tangan mengucapkan selamat padanya. Kak Alvin sempat melirik ke arahku yang masih terduduk ditempatku padahal semua penonton sudah beranjak pergi.
Aku gak habis pikir apa yang Kak Alvin kira dengan ucapan Abdi, tapi apa pedulinya? Toh dia gak kenal aku.
Akupun pergi. Aku sadar aku mana pantas buat Kak Alvin . aku memang terlalu naif untuk mengakui perasaan ini. Jelas aja, seorang Kak Alvin dia tenar, tim olimpiade kimia sekolah sedangkan aku walau juga tim olimpiade fisika sekolah tapi bukan tipe cewek Kak Alvin.
“tunggu!” seru suara dari belakangku. Aku melihat ke arah sumber suara. Kak Alvin?.
“Kak Alvin?”
“sopan banget, yang lain gantian kasih ucapan selamat karena tim sekolah kita menang tapi kamu nyelonong pergi aja,” Kak Alvin berjalan mendekat ke arahku.
“tapi Kak bukan maksudku, Cuma aku ngerasa gak pantes aja ada disana, siapa aku?” air mata meleleh begitu saja dipipiku. Kata-kata Kak Alvin sedikit membuatku tersinggung.
“terus buat apa kamu merubah penampilan kamu kaya gini kalau kamu justru jadi seorang yang pengecut, gak berani nunjukin diri kamu.”
“Kak, maksutnya apa sih tiba-tiba ngomong gitu?” air mataku semakin deras mendengar tuduhan Kak Alvin.
“seorang Faya dulu dengan penampilan yang sederhana walaupun sering dijahilin sama teman-temannya, tapi dia adalah cewek yang kuat. Dia seorang yang cerdas, siswa berprestasi di bidang fisika. Tapi sekarang? Apa dengan merubah diri kamu kayak gini bakal merubah apa yang sebelumnya udah cukup kamu dapatkan?”
“Kak, Kakak gak tau rasanya jadi seorang Faya yang ‘kuper’, gak punya temen bahkan dimanfaatin! Aku Cuma pengen sedikit berubah sebatas itu, bukan merubah semuanya. Dan asal Kakak tau, Kakak lah satu-satunya alasan aku berubah!” aku semakin terisak.
“maksud kamu apa Fay?”
“iya...Kakak! aku pengen terlihat di mata kakak sama kayak cewek yang lain, cantik, menarik. Aku tau, mana ada cowok bisa tertarik sama cewek cupu dan kuper kayak aku. Aku suka Kakak itu kenapa aku berubah supaya Kakak menganggapku.” Kata-kata itu muncul begitu saja dari bibirku, entah keberanian darimana sehingga aku bisa ngomong seperti itu di depan Kak Alvin.
“Fay..tapi ini konyol!”
“aku tau ini bego, tolol. Karena jelas aja Kakak gak bakal suka sama aku,”
“kamu salah Fay! Aku...jujur, aku udah lama tertarik sama kamu sejak kita sama-sama ikut pembinaaan olimpiade sains. Dengan kesederhanaan dan kepolosan kamu itulah yang membedakan kamu dengan cewek lainnya. Kamu beda dimata kakak,”
“Kak...” ucapku lirih.
“Fay...Kakak lebih suka kamu apa adanya. Kakak sempat shock waktu Abdi bilang kamu calon pacarnya tapi kakak melihat kamu gak respon ucapan dia,”
“maksud Kakak apa?” Kak Alvin menarik kedua tanganku. Tatapan matanya seolah mengunci tatapanku.
“kamu udah tau kan? Kamu mau jadi pacar Kakak?” Kak Alvin tersenyum.
Aku sempat tersenyum disela isak tangisku. Kak Alvin nembak aku, apa ini mimpi?.
“aku mau Kak,” binar bahagia terlihat jelas di mata Kak Alvin.


“nah gitu dong, biar dari luar kamu di bilang aneh tapi aslinya cantik.” Kak Alvin menggandeng tanganku berjalan di koridor sekolah. Pagi itu adalah pagi terindah yang gak akan aku lupa. Karena hari ini aku berangkat bareng Kak Alvin, pacarku.
“iya Kak..” ucapku.
“Faya? Kak Alvin? Kalian?” Abdi datang tiba-tiba. Kami hanya tersenyum melihat Abdi bengong.
“jadi kalian udah jadian? Fay kamu kok berubah lagi?” lanjutnya.
“Di..kamu datang kok nyerocos gitu, kenapa? Sorry ya..aku duluan nih dapetin Fay,” ucap Kak Alvin. Kamipun berlalu meninggalkan Abdi yang masih bengong.



@TiyasWidyastuti

Minggu, 01 April 2012

Sang mantan


Aku masih ingat kapan kita pertama bertemu
Aku masih ingat kapan ulang tahunmu
Akupun masih ingat apa yang kamu suka dan kamu benci

Tapi apakah kamu masih ingat semua kenangan tentang kita?
Alfa, andai saja waktu bisa kembali
Walau hanya sedetik untukku melihatmu
Alfa, apakah kamu masih ingat saat kita bersama?
Kamu pernah mengukir nama kita di pasir pantai sore itu
Kamu pernah berjanji kita tak akan terpisah

Alfa, apakah kamu masih seperti yang dulu?
Tersenyum manja saatku kesal
Menggenggam tanganku saatku merasa takut
Membisikkan kata-kata semangat saaatku terpuruk
Membuatku tersenyum dengan leluconmu

Alfa, sabtu kemarin sahabatmu datang padaku
Aku berharap kamu pun datang pagi itu
Menyunggingkan senyum indahmu yang pernah buatku damai
Namun, kamu tak ada
Hatiku sedih, bahkan aku ingin marah pada sahabatmu

Tetapi Alfa, sahabatmu memberitahuku
Bahwa kamu tak akan pernah kutemui lagi
Bahwa kamu tak ada lagi disini, di dunia ini
Untuk sekali lagi singgah dalam hidupku
Untuk bersama-sama mengukir cerita dalam diary hidupku

Pagi itu...Alfa, aku terjatuh bukan hanya tubuhku
Tapi hatiku, dan air mataku
Alfa, aku selalu berdoa agar kamu tenang disana
Berharap kamu selalu tersenyum selamanya untukku
Disini aku masih mencintaimu...sang mantan


@TiyasWidyastuti

Ini tentang cinta


Kalau cinta mengenal, cinta akan memanggil kepada hati yang cinta kenal
Kalau cinta sudah kenal, cinta akan datang kepada hati yang cinta sudah tau
Kalau cinta tau, cinta hanya akan membaginya kepada hati yang cinta pilih
Namun cinta tidak seperti itu
Cinta itu polos, dia bahkan tak tau apa-apa
Cinta datang kepada siapa saja bahkan yang belum cinta kenal
Cinta hadir tiba-tiba di tempat yang cinta tidak pernah tau sebelumnya
Cintapun tidak memilih, karena cinta itu buta
Cinta juga tuli, ya, cinta tuli, cinta tak mau mendengar dan tak mau tau
Cinta tapi tidak seenaknya sendiri, cinta hadir dengan merasakan sebuah rasa
Rasa yang cinta tidak tau
Cinta terkadang pula membuat hati bahagia karena cinta itu indah dan cantik
Tetapi adakalanya cinta membuat hati menangis karena cinta itu jadi jahat
Cinta juga bisa jadi egois karena cinta tak mau disalahkan
Cinta itu tak salah dan tak pernah salah


@TiyasWidyastuti