Mario menatap bahagia
gadis itu. Balutan kebaya merah menyala dan jilbab sanggulnya menambah anggun
paras itu. Siapapun suaminya pasti beruntung mendapatkannya. Dia kira dia tak salah
menjadikannya ratu dihatinya.
Mario masih ingat saat
pertama kali mereka bertemu. Di sebuah aula kampus, jilbabnya berkibar diterpa
angin yang menerobos lewat jendela-jendela besar aula.
Gadis itu menyapanya
dengan senyum dan pandangannya yang tertunduk malu. Ah, gadis itu benar-benar
membuatnya jatuh hati bahkan pada pandangan pertama. Senyumnya meneduhkan hati.
Jilbabnya panjang dan indah.
“maaf, aku Cuma mau
menyerahkan proposal yang kamu minta kemarin. Aku baru saja menyelesaikannya,
mungkin sebaiknya kamu cek dulu sebelum diajukan.”gadis itu tersenyum sembari
menyerahkan snelhecter biru.
Mario menerimanya tanpa sedikitpun
mengalihkan pandangannya pada wajah yang cantik dan teduh itu.
“terima kasih, jadi kamu
yang tugas buat proposal kegiatan ini?” tanyanya pelan. Sungguh, baru kali ini
ada seorang wanita yang membuatnya begitu penasaran.
Gadis itu mengangguk
pelan.
Mario mengulurkan tangan.
“Mario Agustian,” ucapnya singkat ,memperkenalkan diri.
Dia tersenyum lalu
menangkupkan kedua tangannya. “Anisa, aku sudah tau kamu, maaf, aku gak biasa
berjabat tangan dengan seseorang yang bukan muhrimku,” jawabnya sopan.
Mario menarik tangannya
canggung dan tersenyum, berpura-pura menggaruk rambut yang tak gatal sama
sekali.
Sial!
Seharusnya kamu gak sebodoh itu!
“oya Mario, aku pergi
dulu.” Pamitnya.
Mario menganggukan kepala
lalu tersenyum simpul, memandanginya berlalu dari hadapannya. Jilbab merah hati
lagi-lagi berkibar tersibak angin.
Siang itu adalah awal
Mario merasakan perasaan ini. Perasaan yang begitu menggoda. Ya, cinta! Tapi
apakah secepat itu? Dengan gadis berjilbab itu?
Mario sibuk membolak-balikkan
Al-kitab yang digenggamnya. Sesekali matanya menyapu ke dalam tempat ibadah di
depannya. Kampus siang itu lumayan ramai karena ada kegiatan yang dilakukan
rutin setiap hari jumat di masjid kampus.
Anisa melangkah pelan.
Bibirnya menyunggingkan senyum manis pada Mario, pacarnya.
Sejak 3 bulan lalu,
perkenalan mereka di kampus, membuat hubungan mereka semakin dekat. Bahkan,
Mario berani menyatakan perasaannya setelah tiga minggu PDKT.
Awalnya, Anisa menolak.
Tapi gadis itu tidak bisa membohongi hati kecilnya jika dia punya perasaan yang
sama dengan pemuda tampan itu.
“mau kemana?” ucap Anisa.
Tasnya diselempangkan dibahu kanannya.
“makan yuk, ini kan jam
makan siang.” Ajak Mario.
“boleh,”
Mereka bergegas menuju
kantin kampus. Mario berusaha menggenggam tangan Anisa, namun secepat kilat
Anisa menjauhkan tangannya.
“maaf Nis, khilaf,”
“inget Rio, kita belum
muhrim,” Anisa tertawa renyah pada kekasihnya.
“Cuma mau ngetes aja,”
Mario tersenyum jahil kearah gadis ayu itu.
Anisa membalasnya dengan
memukul kepala Mario menggunakan gulungan kertas yang sedari tadi dibawanya.
“ampun Ustadz,” seru Mario
yang berlari kecil mendahului Anisa.
“bukan rio, Ustadzah yang
bener, kalau Ustadz itu buat cowok.” Jawab Anisa.
“kalau begitu aku mau deh
dipanggil Ustadz, hehehe”
Anisa tersenyum geli
melihat tingkah Mario yang selalu membuatnya tertawa.
Jam sudah menunjukkan
pukul lima sore. Anisa masih menunggu angkot langganannya datang menjemputnya.
Sesekali ia melirik kearah jam tangan silver yang melingkari pergelangan tangan
kirinya.
15menit lebih. Angkot tak
juga muncul padahal sudah hampir menjelang maghrib. Anisa sudah janji untuk
berbuka puasa di rumah dengan keluarganya.
Sebuah klakson mobil
membuyarkan kegalauan Anisa. Mobil jeep itu
kini menepi. Anisa tau siapa empunya.
Kaca mobil perlahan
terbuka. Senyum itu mengembang sepeerti biasa menyapa gadis berjilbab itu.
Mario turun dari mobil lalu mendekat ke Anisa.
“udah sore, aku anterin
pulang yuk?” serta-merta Mario membukakan pintu mobilnya.
Anisa tertawa kecil
melihat perlakuan Mario.
“terima kasih Rio, kamu
kok tau aku ada disini?” tanya Anisa.
Mario tertawa sembari
mengangkat bahunya. Mobil melaju kencang menerobos pohon-pohon yang berderet
rapi disepanjang jalan. Kilatan cahaya lampu jalan yang mulai menyala menjelang
malam menambah pesona indah sore itu.
“aku ragu,” ucap Anisa
pelan. Dia meremas jari-jarinya, wajahnya menyiratkan kegelisahan.
“tentang hubungan kita?
Kenapa Nis? Kita saling mencintai, kamu tau itu,” sergah Mario, nada suaranya
agak meninggi.
“tapi Rio, bagaimana
dengan orang tuaku? Orang tua kamu?”
Mario tertunduk sesaat
lalu kembali berkonsentrasi menyetir. Dia tahu, orang tua mereka tak akan
pernah setuju dengan hubungan ini sampai kapanpun, bahkan sampai kiamatpun
mereka akan menentangnya.
Mereka menghabiskan sisa
perjalanan dalam diam.
Tak berapa lama sampailah
di depan rumah Anisa. Mario membukakan pintu mobilnya untuk Anisa.
“terima kasih untuk hari
ini, aku harap semua yang akan tejadi nanti adalah yang terbaik buat kita,”
Anisa berlalu dari hadapan Mario dan menghilang dibalik pintu rumah besar itu.
Mario menatap nanar gadis
yang benar-benar dicintainya itu. Bagaimana mungkin ini terjadi sedangkan hal
ini tidaklah adil untuk mereka. Tuhan menganugerahkan cinta pada hatinya tapi
apakah salah cintanya jatuh pada Anisa? Apakah berbeda agama itu salah dalam
cinta?
Anisa melangkah perlahan
kedalam rumah. “Assalamualaikum..” sapanya.
“waalaikumsalam..” sahut
suara di dalam rumah.
“eh Abi, Nisa pulang,”
Nisa meraih tangan abinya lalu menciumnya patuh bergantian dengan Uminya yang
sedang duduk disamping abi.
“kamu pulang dengan pemuda
itu lagi Nis?” tanya abinya dengan nada serius.
Anisa tau bakal kemana
arah pembicaraan abinya kalau sudah membahas tentang hubungannya dengan Mario.
“Nis, kamu kan tau
kalau...”
“kalau hubungan beda agama
gak boleh? Selamanya gak sepaham itu gak bisa bersatu? Kata siapa bi?” sergah
anisa kesal. Air matanya tumpah begitu saja.
“Anisa! Gara-gara kamu
berhubungan dengan dia kamu juga sudah berani membentak abimu sendiri? Ingat
Nis, kita muslim! Kepercayaan kita dan dia berbeda, pikirkan baik-baik hal ini
semisal kalian berkeluarga dan punya anak nanti?!”
“kenapa selalu itu yang
abi perdebatkan? Apa cinta ini salah? Siapa yang memberi perasaan ini bi?
Bahkan Anisa gak bisa mencegah ini semua! Abi gak pernah mengerti Nisa!”
“Nisa cukup!” bentak umi.
“umi sama saja dengan abi!
egois!” Anisa berlari ke kamarnya.
“kamu memang keras kepala
Nis, pokoknya Abi tidak setuju kamu dengan dia! Abi sudah pilihkan yang terbaik
buat kamu. Dengar Abi, Nisa!” seru Abi.
Nisa melepas kerudungnya.
dia menghempaskan tubuhnya dikasur. Air matanya semakin membanjir. Dia tidak
bisa menerima ini dengan akal sehat. Cinta tidak akan salah, bukankah cinta
datang atas kehendak Sang Maha Kuasa? Kenapa cinta harus bersyarat? Bukankah ini
menyakitkan? Pertanyaan itu terus menghujam dalam hatinya.
“aku benar-benar cinta
sama Mario Ya Allah, apa aku salah?” isaknya pelan.
Mario melangkahkan kakinya
cepat-cepat menuju taman kampus yang berada tepat dibelakang fakultas
kedokteran tempatnya kuliah.
“hai Nis,” sapanya ramah.
“Rio,” jawab Anisa pendek.
“udah lama? Maaf tadi
kuliahnya agak lama, kamu mau makan? Ayok kita ngobrol di kantin aja,”
“gak usah Rio, kita
ngomong disini aja.”
“ayolah, ada apa sayang?
Kamu kenapa?”
Anisa tak langsung
menjawab. Kedua bola matanya bersaput mendung. Buliran air matanya tak mampu
lagi dicegah, menetes dikedua pipinya.
“Nis?”
“Mario, aku sayang banget
sama kamu, bahkan aku gak bisa lagi ngasih tau ke kamu seberapa besar
perasaanku ke kamu. Tapi..tapi..” nada suara Anisa bergetar.
“Anisa..apa ini tentang
masalah..”
“iya..aku pikir kita
akhiri aja semuanya Mario, aku gak mau ada sesuatu yang terjadi dengan keluarga
kita kalau kita tetap mempertahankan hubungan ini,”
“tapi Nis, kita bisa
bicarakan hal ini dengan orang tua kita. Aku rasa kita sudah sama-sama dewasa
untuk masalah ini, kita beritahu ke semua orang kalau agama bukanlah penghalang
cinta kita. Kita tetap bahagia dengan hidup kita, iya kan Nis?”
Anisa menatap lekat wajah
mario. Mata Mario berkaca-kaca memohon padanya.
“aku mohon Mario, ini
semua yang terbaik buat kita. Aku yakin kamu bisa mendapatkan gadis yang lebih
baik dari aku.” Anisa mengusap air matanya yang semakin membanjir dengan
punggung tangannya.
“tapi Nis...” Mario tak
lagi melanjutkan kata-katanya. Dia seolah merelakan kepergian Anisa dari
hadapannya dan mungkin dari hatinya.
Anisa
mungkin benar. Tetapi jika memang ini jalan yang terbaik, apakah aku sanggup
menjalaninya? Apakah aku sanggup hidup tanpa kamu? Kamu yang aku cinta Nis.
“Hai Rio..” sapa sebuah
suara.
Lamunan Mario serta merta
berantakan. Dia tahu pasti siapa pemilik suara itu.
“Anisa..” Mario tersenyum
“terima kasih udah
menyempatkan waktu kamu buat dateng di acara pernikahanku. Aku harap kamu
segera menyusul ya, oya gimana wisuda kamu?” ada nada suara berat dalam ucapan
Anisa.
“Puji Tuhan. Wisudaku
lancar minggu kemarin Nis, sekarang aku resmi jadi dokter,”
“alkhamdulillah...”
“selamat ya, semoga Tuhan
memberkati pernikahanmu dengan Fauzan.” Kata Mario.
“akupun selalu
mendoakanmu, aku tinggal ya,” Anisa melangkah berat, matanya yang sejak tadi
berkaca-kaca ia tutupi dengan bercandaan ringan.
Mario mengangguk. Dia
kembali meneguk air sirup yang dipegangnya sedari tadi.
Nisa...aku
bahagia melihatmu bahagia meskipun itu bersama orang lain. Aku masih cinta
kamu, cinta yang sama sejak pertama kali kita bertemu, walaupun cintamu telah
terbagi atau mungkin berpindah kelain hati. Aku selalu berdoa demi kebahagianmu
Nisa...
Biarlah
perasaan ini cukup aku yang tahu dan Tuhan saksinya, selamat tinggal Nisa...
Mario...mungkin
kamu gak akan pernah tau kalau cinta ini masih ada. Mungkin aku akan belajar
mencintai suamiku walaupun itu susah tetapi menghilangkan bayangmu dalam hatiku
justru lebih sulit.
Aku
harap kamu bisa mendapatkan penggantiku,yang lebih baik dariku dan lebih bisa
mencintai kamu...saat rasa sayang ini masih ada, ijinkan aku untuk terakhir
kalinya meskipun dalam hati untuk bilang “AKU CINTA KAMU, MARIO AGUSTIAN..”
tiyaswidy.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar