follow me Kakaa

Rabu, 18 April 2012

salahkah jika kita berbeda?


Mario menatap bahagia gadis itu. Balutan kebaya merah menyala dan jilbab sanggulnya menambah anggun paras itu. Siapapun suaminya pasti beruntung mendapatkannya. Dia kira dia tak salah menjadikannya ratu dihatinya.
Mario masih ingat saat pertama kali mereka bertemu. Di sebuah aula kampus, jilbabnya berkibar diterpa angin yang menerobos lewat jendela-jendela besar aula.
Gadis itu menyapanya dengan senyum dan pandangannya yang tertunduk malu. Ah, gadis itu benar-benar membuatnya jatuh hati bahkan pada pandangan pertama. Senyumnya meneduhkan hati. Jilbabnya panjang dan indah.
“maaf, aku Cuma mau menyerahkan proposal yang kamu minta kemarin. Aku baru saja menyelesaikannya, mungkin sebaiknya kamu cek dulu sebelum diajukan.”gadis itu tersenyum sembari menyerahkan snelhecter biru.
Mario menerimanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya pada wajah yang cantik dan teduh itu.
“terima kasih, jadi kamu yang tugas buat proposal kegiatan ini?” tanyanya pelan. Sungguh, baru kali ini ada seorang wanita yang membuatnya begitu penasaran.
Gadis itu mengangguk pelan.
Mario mengulurkan tangan. “Mario Agustian,” ucapnya singkat ,memperkenalkan diri.
Dia tersenyum lalu menangkupkan kedua tangannya. “Anisa, aku sudah tau kamu, maaf, aku gak biasa berjabat tangan dengan seseorang yang bukan muhrimku,” jawabnya sopan.
Mario menarik tangannya canggung dan tersenyum, berpura-pura menggaruk rambut yang tak gatal sama sekali.
Sial! Seharusnya kamu gak sebodoh itu!
“oya Mario, aku pergi dulu.” Pamitnya.
Mario menganggukan kepala lalu tersenyum simpul, memandanginya berlalu dari hadapannya. Jilbab merah hati lagi-lagi berkibar tersibak angin.
Siang itu adalah awal Mario merasakan perasaan ini. Perasaan yang begitu menggoda. Ya, cinta! Tapi apakah secepat itu? Dengan gadis berjilbab itu?


Mario sibuk membolak-balikkan Al-kitab yang digenggamnya. Sesekali matanya menyapu ke dalam tempat ibadah di depannya. Kampus siang itu lumayan ramai karena ada kegiatan yang dilakukan rutin setiap hari jumat di masjid kampus.
Anisa melangkah pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum manis pada Mario, pacarnya.
Sejak 3 bulan lalu, perkenalan mereka di kampus, membuat hubungan mereka semakin dekat. Bahkan, Mario berani menyatakan perasaannya setelah tiga minggu PDKT.
Awalnya, Anisa menolak. Tapi gadis itu tidak bisa membohongi hati kecilnya jika dia punya perasaan yang sama dengan pemuda tampan itu.
“mau kemana?” ucap Anisa. Tasnya diselempangkan dibahu kanannya.
“makan yuk, ini kan jam makan siang.” Ajak Mario.
“boleh,”
Mereka bergegas menuju kantin kampus. Mario berusaha menggenggam tangan Anisa, namun secepat kilat Anisa menjauhkan tangannya.
“maaf Nis, khilaf,”
“inget Rio, kita belum muhrim,” Anisa tertawa renyah pada kekasihnya.
“Cuma mau ngetes aja,” Mario tersenyum jahil kearah gadis ayu itu.
Anisa membalasnya dengan memukul kepala Mario menggunakan gulungan kertas yang sedari tadi dibawanya.
“ampun Ustadz,” seru Mario yang berlari kecil mendahului Anisa.
“bukan rio, Ustadzah yang bener, kalau Ustadz itu buat cowok.” Jawab Anisa.
“kalau begitu aku mau deh dipanggil Ustadz, hehehe”
Anisa tersenyum geli melihat tingkah Mario yang selalu membuatnya tertawa.


Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Anisa masih menunggu angkot langganannya datang menjemputnya. Sesekali ia melirik kearah jam tangan silver yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
15menit lebih. Angkot tak juga muncul padahal sudah hampir menjelang maghrib. Anisa sudah janji untuk berbuka puasa di rumah dengan keluarganya.
Sebuah klakson mobil membuyarkan kegalauan Anisa. Mobil jeep itu kini menepi. Anisa tau siapa empunya.
Kaca mobil perlahan terbuka. Senyum itu mengembang sepeerti biasa menyapa gadis berjilbab itu. Mario turun dari mobil lalu mendekat ke Anisa.
“udah sore, aku anterin pulang yuk?” serta-merta Mario membukakan pintu mobilnya.
Anisa tertawa kecil melihat perlakuan Mario.
“terima kasih Rio, kamu kok tau aku ada disini?” tanya Anisa.
Mario tertawa sembari mengangkat bahunya. Mobil melaju kencang menerobos pohon-pohon yang berderet rapi disepanjang jalan. Kilatan cahaya lampu jalan yang mulai menyala menjelang malam menambah pesona indah sore itu.
“aku ragu,” ucap Anisa pelan. Dia meremas jari-jarinya, wajahnya menyiratkan kegelisahan.
“tentang hubungan kita? Kenapa Nis? Kita saling mencintai, kamu tau itu,” sergah Mario, nada suaranya agak meninggi.
“tapi Rio, bagaimana dengan orang tuaku? Orang tua kamu?”
Mario tertunduk sesaat lalu kembali berkonsentrasi menyetir. Dia tahu, orang tua mereka tak akan pernah setuju dengan hubungan ini sampai kapanpun, bahkan sampai kiamatpun mereka akan menentangnya.
Mereka menghabiskan sisa perjalanan dalam diam.
Tak berapa lama sampailah di depan rumah Anisa. Mario membukakan pintu mobilnya untuk Anisa.
“terima kasih untuk hari ini, aku harap semua yang akan tejadi nanti adalah yang terbaik buat kita,” Anisa berlalu dari hadapan Mario dan menghilang dibalik pintu rumah besar itu.
Mario menatap nanar gadis yang benar-benar dicintainya itu. Bagaimana mungkin ini terjadi sedangkan hal ini tidaklah adil untuk mereka. Tuhan menganugerahkan cinta pada hatinya tapi apakah salah cintanya jatuh pada Anisa? Apakah berbeda agama itu salah dalam cinta?


Anisa melangkah perlahan kedalam rumah. “Assalamualaikum..” sapanya.
“waalaikumsalam..” sahut suara di dalam rumah.
“eh Abi, Nisa pulang,” Nisa meraih tangan abinya lalu menciumnya patuh bergantian dengan Uminya yang sedang duduk disamping abi.
“kamu pulang dengan pemuda itu lagi Nis?” tanya abinya dengan nada serius.
Anisa tau bakal kemana arah pembicaraan abinya kalau sudah membahas tentang hubungannya dengan Mario.
“Nis, kamu kan tau kalau...”
“kalau hubungan beda agama gak boleh? Selamanya gak sepaham itu gak bisa bersatu? Kata siapa bi?” sergah anisa kesal. Air matanya tumpah begitu saja.
“Anisa! Gara-gara kamu berhubungan dengan dia kamu juga sudah berani membentak abimu sendiri? Ingat Nis, kita muslim! Kepercayaan kita dan dia berbeda, pikirkan baik-baik hal ini semisal kalian berkeluarga dan punya anak nanti?!”
“kenapa selalu itu yang abi perdebatkan? Apa cinta ini salah? Siapa yang memberi perasaan ini bi? Bahkan Anisa gak bisa mencegah ini semua! Abi gak pernah mengerti Nisa!”
“Nisa cukup!” bentak umi.
“umi sama saja dengan abi! egois!” Anisa berlari ke kamarnya.
“kamu memang keras kepala Nis, pokoknya Abi tidak setuju kamu dengan dia! Abi sudah pilihkan yang terbaik buat kamu. Dengar Abi, Nisa!” seru Abi.
Nisa melepas kerudungnya. dia menghempaskan tubuhnya dikasur. Air matanya semakin membanjir. Dia tidak bisa menerima ini dengan akal sehat. Cinta tidak akan salah, bukankah cinta datang atas kehendak Sang Maha Kuasa? Kenapa cinta harus bersyarat? Bukankah ini menyakitkan? Pertanyaan itu terus menghujam dalam hatinya.
“aku benar-benar cinta sama Mario Ya Allah, apa aku salah?” isaknya pelan.


Mario melangkahkan kakinya cepat-cepat menuju taman kampus yang berada tepat dibelakang fakultas kedokteran tempatnya kuliah.
“hai Nis,” sapanya ramah.
“Rio,” jawab Anisa pendek.
“udah lama? Maaf tadi kuliahnya agak lama, kamu mau makan? Ayok kita ngobrol di kantin aja,”
“gak usah Rio, kita ngomong disini aja.”
“ayolah, ada apa sayang? Kamu kenapa?”
Anisa tak langsung menjawab. Kedua bola matanya bersaput mendung. Buliran air matanya tak mampu lagi dicegah, menetes dikedua pipinya.
“Nis?”
“Mario, aku sayang banget sama kamu, bahkan aku gak bisa lagi ngasih tau ke kamu seberapa besar perasaanku ke kamu. Tapi..tapi..” nada suara Anisa bergetar.
“Anisa..apa ini tentang masalah..”
“iya..aku pikir kita akhiri aja semuanya Mario, aku gak mau ada sesuatu yang terjadi dengan keluarga kita kalau kita tetap mempertahankan hubungan ini,”
“tapi Nis, kita bisa bicarakan hal ini dengan orang tua kita. Aku rasa kita sudah sama-sama dewasa untuk masalah ini, kita beritahu ke semua orang kalau agama bukanlah penghalang cinta kita. Kita tetap bahagia dengan hidup kita, iya kan Nis?”
Anisa menatap lekat wajah mario. Mata Mario berkaca-kaca memohon padanya.
“aku mohon Mario, ini semua yang terbaik buat kita. Aku yakin kamu bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dari aku.” Anisa mengusap air matanya yang semakin membanjir dengan punggung tangannya.
“tapi Nis...” Mario tak lagi melanjutkan kata-katanya. Dia seolah merelakan kepergian Anisa dari hadapannya dan mungkin dari hatinya.
Anisa mungkin benar. Tetapi jika memang ini jalan yang terbaik, apakah aku sanggup menjalaninya? Apakah aku sanggup hidup tanpa kamu? Kamu yang aku cinta Nis.


“Hai Rio..” sapa sebuah suara.
Lamunan Mario serta merta berantakan. Dia tahu pasti siapa pemilik suara itu.
“Anisa..” Mario tersenyum
“terima kasih udah menyempatkan waktu kamu buat dateng di acara pernikahanku. Aku harap kamu segera menyusul ya, oya gimana wisuda kamu?” ada nada suara berat dalam ucapan Anisa.
“Puji Tuhan. Wisudaku lancar minggu kemarin Nis, sekarang aku resmi jadi dokter,”
“alkhamdulillah...”
“selamat ya, semoga Tuhan memberkati pernikahanmu dengan Fauzan.” Kata Mario.
“akupun selalu mendoakanmu, aku tinggal ya,” Anisa melangkah berat, matanya yang sejak tadi berkaca-kaca ia tutupi dengan bercandaan ringan.
Mario mengangguk. Dia kembali meneguk air sirup yang dipegangnya sedari tadi.

Nisa...aku bahagia melihatmu bahagia meskipun itu bersama orang lain. Aku masih cinta kamu, cinta yang sama sejak pertama kali kita bertemu, walaupun cintamu telah terbagi atau mungkin berpindah kelain hati. Aku selalu berdoa demi kebahagianmu Nisa...
Biarlah perasaan ini cukup aku yang tahu dan Tuhan saksinya, selamat tinggal Nisa...

Mario...mungkin kamu gak akan pernah tau kalau cinta ini masih ada. Mungkin aku akan belajar mencintai suamiku walaupun itu susah tetapi menghilangkan bayangmu dalam hatiku justru lebih sulit.
Aku harap kamu bisa mendapatkan penggantiku,yang lebih baik dariku dan lebih bisa mencintai kamu...saat rasa sayang ini masih ada, ijinkan aku untuk terakhir kalinya meskipun dalam hati untuk bilang “AKU CINTA KAMU, MARIO AGUSTIAN..”



tiyaswidy.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar