Senja semakin menua.
Siluet jingga menggelayut malas di cakrawala luas. Suara burung entah apa
namanya menyumbang ramai jalan setapak di sebuah desa sore itu. Pohon pisang
maupun mangga dan beberapa lainnya semacam pagar yang berderet rapi di
kanan-kiri jalan.
Langkah kecil itu semakin
terseret, serasa malas namun rutinitas menuntutnya. Dokter muda itu menenteng
tas hitamnya. Sepatu ketsnya sedikit nyentrik berwarna merah bergaris biru
muda, jilbab abu-abunya sedikit berantakan karena keadaan sore dan pastinya ia
lelah seharian melayani pasien di puskesmas sebuah desa terpencil di pinggiran
kota Semarang.
Langkahnya terhenti
seketika. Pemandangan dengan sebuah rumah mungil sederhana dengan bohlam 5 watt
menyala di beranda beralas tanah, sungguh menyita perhatiannya. Kakinya
menuntunnya untuk memasuki pekarangan yang tak terlalu luas yang di tumbuhi
bermacam-macam tanaman.
“Sore Dokter Dan!” sapa
ramah gadis cilik itu membuat sang dokter mengukirkan senyum seketika.
“Assalamualaikum Lis,”
sapa dokter Dan, masih tersenyum lalu duduk di sebuah bangku panjang menjejeri
gadis yang dipanggil Elis.
“baru pulang Dok?”
tanyanya, tangannya mengaduk pelan kopi pahit dihadapannya.
“Kak Danila Lis, jangan
panggil Dokter dong,” sergah Danila.
“Elis kan Cuma panggil Kak
Dan kalau Kak Dan lagi gak pakai baju seperti ini, kalau pakai baju putih kaya gini
ya panggil Dokter, hehehe” gadis 9 tahun itu tersenyum lugu. Menggelitik Danila
untuk mengacak-acak rambut hitam sebahunya.
Elis, gadis kelas empat SD
itu sangat unik. Kebiasaannya setiap menjelang senja itu membuat Danila
bertanya-tanya. Tepatnya tiga minggu yang lalu sejak Danila pindah tugas di
puskesmas desa ini.
Gadis cilik itu hanya
tinggal serumah dengan neneknya yang hampir berumur 70 tahun. Menurut cerita
neneknya-Nek Ida- Ayah Elis meninggal sejak Elis masih 8 bulan dalam kandungan
ibunya. Ibunya sendiri adalah seorang TKI yang bekerja sejak 3 tahun yang lalu
di Malaysia.
Ya, kehidupan sederhana
keluarga Elis menuntut ibunya bekerja menjadi TKI di luar negeri. Bagaimana
mungkin negeri yang kaya dan sejahtera seperti Indonesia ini masih banyak
pedesaan kecil yang masih sangat membutuhkan tenaga medis, sekolah-sekolah yang
tak layak pakai, serta lapangan pekerjaan yang teramat sangat minim. Padahal,
disana-sini, di daerah ibu kota masih ada saja tikus-tikus tak berhati yang
hobi menggerogoti negara.
Andai saja Danila bisa
berbuat banyak.
“Kak dokter! Kok bengong,
Elis masuk dulu ya, udah hampir maghrib,” seru Elis membuyarkan lamunan pendek
Danila.
“eh iya Lis, kakak juga
pulang dulu ya, salam buat nenek kamu, Assalamualaikum,” Danila melangkah
meninggalkan gadis itu. Elis masih berdiri di beranda lalu melambaikan
tangannya.
Danila melangkah terburu.
Tampak bebatuan di depan rumah Elis yang menghitam. Jelas sekali itu akibat
tumpahan kopi yang setiap hari dibuang ke batu-batu yang tersusun abstrak
sebagai jalan setapak.
Suara adzan maghrib
berkumandang, menyejukkan hati yang lelah, pikiran yang penatpun serasa damai
kala panggilan sang Illahi menyeru memanggil umatnya untuk menghadap sang
Empunya alam semesta.
Danila masih berbaring
malas di tempat tidur sebuah ruangan kecil tempatnya kos. Dulu, sewaktu di
Bandung, rumahnya sangat bagus berderet megah di komplek perumahan elit.
Hidupnya sedari kecil bersama dua kakaknya seperti tak mendapat masalah. Flat.
Datar. Dia tergolong anak yang pandai. Dari TK hingga SMA selalu mendapat
peringkat di kelasnya. Bahkan waktu mendaftar kuliah, dia bisa lolos di SNMPTN
dan masuk universitas favorit pilihannya.
Pikiran-pikiran itu
seperti berterbangan di langit-langit kamar bercat putih itu. Memori otaknya
kembali melayang pada kejadian sore tadi. Elis. Gadis itu selalu membuatkan
secangkir kopi hitam dengan resep andalan ibunya yang selalu ia ceritakan.
“kopi ini enak loh kak,
hangat dan manis, kata ibu kesukaan dia satu sendok teh kopi dan tiga sendok
teh gula.”
Danila tersenyum geli.
Elis tidak pernah tau kapan ibunya yang selalu ia nanti tiap menjelang senja
itu akan kembali. Menurut neneknya dan beberapa tetangga, ibu elis sempat mengirimkan
surat sebulan yang lalu yang berisikan bahwa dia akan kembali ke Indonesia
karena kontrak kerjanya sudah selesai.
Hal itu tentu saja membuat
elis kecil bahagia dan secercah harapanpun selalu menyelimuti wajahnya setiap
hari. Harapan dari 3 tahun yang lalu. Dia ingin sekali melihat ibunya, ingin
memeluknya dan mencium ibunya. Begitu cerita elis suatu hari.
Henfon di meja rias
berteriak nyaring mengalihkan perhatian Danila. Tangannya meraih seketika. Ah
sebuah pesan masuk. Pikirnya. Nama seorang cowok mampir di layar henfonnya.
Danila tak
menghiraukannya. Seperti biasa, Adin, pacarnya sejak lima bulan yang lalu.
Perempuan itu melirik jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tangan
kirinya. Pukul 11 malam. Lelah dan kantuk semakin menyerang. Ah lebih baik
tidur dan siapkan fisik lebih untuk esok hari.
Mata itu pelan-pelan
terpejam. Menyambut dimensi mimpi tanpa batas. Sejenak meninggalkan penat dari
dunia yang setiap hari ia jalani. Mimpi, akankah sejenak singgah?
Sang surya kembali
bertengger di ufuk timur. Menyapa dengan senyum hangatnya. Burung-burung
kembali berceloteh nyaring. Danila bergegas ke puskesmas desa tempat ia
praktik. Jalanan desa sudah mulai rame dengan lalu lalang penduduk. Motor-motor
yang dengan modifikasi knalpot ala anak muda desa sungguh memekakan telinga.
Sungguh kurang sopan, batinnya.
Dokter 26 tahun itu selalu
tersenyum ramah tatkala bertegur sapa dengan penduduk desa. Alhasil, keberadaan
Danila sering membuat orang disekitarnya merasa nyaman dan senang.
Danila terhenti sejenak.
sebuah suara memanggil namanya. Ia menoleh seketika. Tampak seorang Ibu berkain
batik melambaikan tangannya dan berlari kecil mendatangi Danila.
Danila tersenyum dan
sedikit mengerutkan keningnya. Ada apa dengan ibu ini?. Pikirnya.
“ada apa Bu? Ada yang bisa
saya bantu? Siapa yang sakit?” tanya Danila ramah.
“bukan Dok, itu si ibunya
Elis, ehm..anu..dia..” Ibu paruh baya itu tambak gugup, terlihat sekali nada
bicaranya gemetar.
“iya Bu, kenapa?” Danila
semakin penasaran.
“Ibunya Elis tadi pagi
dibawa ambulan dari Jakarta, dia meninggal Dok, ayo kita kesana,” secepat kilat
si ibu membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Danila yang syok dengan
kabar duka itu.
“Innalillahi wainnailaihi
roji’un” lirihnya pelan. Dia melangkahkan kakinya mengikuti arah ibu tadi yang
sudah cukup jauh meninggalkannya.
Tak berapa lama sampailah
dia di sebuah rumah yang hampir setiap sore ia kunjungi. Matanya tak dapat lagi
menyembunyikan sedihnya. Kedua bola matanya bersaput mendung. Bagaimana mungkin
Elis akan menerima ini?. Ia merasakan hancurnya hati Elis meskipun ia belum
pernah bertemu dengan ibunya sekalipun. Ah malangnya gadis cilik itu.
Danila memasuki rumah
mungil itu. Tampak disana-sini tetangga yang mulai berdatangan. Bendera kuning
yang terpasang tampak menyayat hati.
Inikah perjumpaan terakhir
itu? Inikah pertemuan yang menjadi suratan takdir? Inikah pemupus harapan Elis?
Mengapa Tuhan?. Pertanyaan itu berkecamuk dalam hati Danila.
Danila mendekati Nek Ida
yang tersedu sedari tadi menatap wajah anaknya untuk terakhir kali. Danila
yakin, harapan nek Ida sebesar harapan Elis, membayangkan Ratna, anaknya akan
kembali dan berkumpul dengan keluarga kecilnya.
Perempuan itu mendekat dan
sesekali menyeka air matanya. Tak lama Danila mohon ijin keluar.
Dokter muda itu belum
melihat Elis dari tadi. Pandangan matanya menyapu ke seluruh ruangan kecil
rumah tersebut. Namun tak ada juga. Ia membawa langkah kakinya ke depan rumah.
Elis masih duduk di bangku
itu. Bangku yang setiap sore menjadi kawannya menanti. Namun kali ini binar
pengharapan itu redup, padam sama sekali. Secangkir kopi hitam itupun tak ada
di cangkirnya. Cangkir itu dibiarkannya kosong. Tangan kanannya menopang
wajahnya.
Danila lalu duduk
disamping gadis itu. Gadis itu tak bergeming sedikitpun. Matanya yang sembab
sudah bisa ditebak jika gadis itu menangis cukup lama.
“Kak Dan ngerti kok,” ucap
Danila membuka suara. Isak tangis semakin nyaring terdengar dari arah dalam
rumah.
Elis tak menjawab.
Pandangan matanya masih menerawang jauh seperti menjelajah menembeus pagar
halaman rumahnya hingga pohon-pohon dan perbukitan diseberang desanya.
“kematian itu emang dekat
dengan kita Lis, kata Ustadz Kak Dan dulu, setiap yang memiliki nyawa pasti
akan merasakan mati.” Danila mencoba tersenyum. Air matanya tak dapat ditahannya
lagi. Jatuh menetes dipipinya yang bersih.
“terus kenapa Alloh gak
ngasih ijin barang sedikit saja buat Elis ketemu Ibu, memeluk dan cerita ke
Ibu?” Elis berucap kemudian, nada suara gadis polos itu benar-benar membuat
hati Danila sesak.
“umur seseorang mana ada
yang tau, begini Lis, Kak Dan yakin ibu kamu orang baik. Buktinya Alloh
mengambil ibu duluan kan?”
“memang begitu Kak Dan?”
Elis kembali meneteskan air matanya.
Danila mengangguk pelan.
Tangannya serta merta meraih gadis itu ke pelukannya. Didekapnya erat bocah
itu. Bagaimana mungkin Elis harus menjadi anak yatim piatu sekecil ini Ya
Alloh?. Bisiknya dalam hati.
Senja itu masih
menyisakkan awan mendung dalam hati Danila setelah seminggu yang lalu. Kakinya
melangkah penuh semangat untuk segera sampai ke kosnya.
“sore Kak Dan,” sapa Elis
di beranda rumahnya. Melambaikan tangannya pada Danila. Danilapun menghampiri
gadis itu.
“Elis, tumben, masih
membuat kopi?”
“buat Kak Dan ya? Resepnya
masih sama kok, waktu itu Kak Dan minta tapi Elis bilang buat Ibu, sekarang
Elis bakal bikinin buat Kak Dan,” sebuah senyum tulus terukir dibibir Elis.
Hatinya mungkin masih sedih perihal kehilangan ibundanya seminggu lalu namun
Elis adalah gadis yang sangat tegar dan tabah.
“serius nih? Wah Kak Dan
bayar berapa dong?” canda Danila.
“gak usah Kak Dan, dari
pertama Kak Dan udah mau jadi temen aku aja aku seneng kok,” sergah Elis
mantap.
“yaudah, Kak Dan minum nih
kopinya,”
Danila meraih gagang
cangkir itu lalu menyeruput kopi hitam itu. Dia memang penggemar kopi namun
kali ini dirasanya kopi itu beda. Kopi ternikmat sedunia. Ya, memang agak
berlebihan. Kopinya hanya kopi biasa. Namun senyum Elis lah pemanis kopi di
senja hari ini.
Elis tersenyum senang kala
Danila mengacungkan ibu jarinya.
Dari gadis ini Danila
banyak belajar. Belajar tentang arti memiliki dan kehilangan, belajar arti
sebuah keluarga, belajar memahami kehidupan meski itu sederhana. Dari Elis,
Danila tau, artinya tulus sebuah persahabatan, kasih sayang penuh keikhlasan.
“Kak Dan, besok-besok
kalau Kak Dan pulang mampir kesini aja terus, pasti Elis bikinin kopi deh,”
gadis itu memecah kebisuan Danila seketika.
“oke deh, janji ya sama
Kak Dan, jangan sedih lagi, hidup kamu masih panjang, kamu masih ingin
bercita-cita seperti Kak Dan kan?” Danila tersenyum.
“siap Kak Dan! Aku janji
demi nenek dan Kak Dan,” gadis itu meletakkan telapak tangannya dengan gerakan
hormat. Danila terkekeh.
Mungkin kopi ini tak akan
lagi terbuang dengan sia-sia bersama harapan tak berujung. Kopi dalam cangkir
ini tak akan lagi mengotori batu-batu kecil yang berwarna hitam pekat karena
kopi-kopi yang terbuang dan membekas.
Ah, rasanya kehilangan itu seperti rasa kopi di kala senja, terasa sangat pahit. Namun, senyum ketegaran dan rasa keikhlasanlah pemanis kopi itu. Pemanis yang membuat butiran-butiran akan rasa kehilangan berubah menjadi manisnya keikhlasan pada Sang Khalik yang telah menetapkan takdir setiap manusia.