follow me Kakaa

Selasa, 12 Februari 2013

Bintang Senja


Aku tidak pernah tau bagaimana caranya memulai. Aku mengenalnya dulu, bertahun-tahun yang lalu, namun aku pastikan aku tak benar-benar mengenalnya. Cinta pertama atau cinta monyet apapun itu. Siapa yang menyangka dialah cinta pertamaku, aku menyadarinya tapi percuma. Hanya sebuah cerita klasik masa putih-biru di dalam sebuah kisah hidupku.
Dia tak terlalu spesial. Tapi kenyataanya? Satu, dia benar-benar membuatku tertarik dan benar-benar menyukai cowok urakan macam dia. Dua, dia berbeda dengan cowok lain, meski tak istimewa tetapi dia unik, seenaknya sendiri, masa bodoh dengan aturan. Dia selalu merasa hidup adalah anugrah dan dia harus bisa menikmatinya tanpa orang lain atur. Tiga, terlepas dari itu semua, dia adalah cowok terpandai di kelas bahkan ranking paralel tiap semesternya. Ini yang selalu membuatku iri bagaimana bisa cowok model “semau gue” tapi cemerlang otaknya.
Hmm..kisah lalu, empat atau lima? Yah, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tapi sekarang, bahkan aku tak lagi melihat wajahnya sejak wisuda SMA-ku. Aku mengenalnya sejak pertama kali masuk sebuah sekolah menengah pertama di kotaku. Begitu banyak kisah tentangnya.
Tiga tahun masa SMP ternyata sangat singkat. Aku selalu satu kelas dengannya. Akrab? Boro-boro, mungkin hampir satu angkatanku tau jika kami itu musuh bebuyutan. Lucu memang, tapi memang dia itu suka cari perkara dan masalah dengan siswa lain. Bahkan semua guru hapal dengan kelakuan kami karena bolak-balik dipanggil oleh BK.
Masa putih-abu-abu. Aku satu sekolah lagi dengannya namun tak pernah satu kelas. Aku sering memperhatikannya dari jauh, ke perpus namun memutar jalan melewati kelasnya untuk sekedar memastikan dia ada atau tidak di kelas. Ke kantin khusus cowok hanya untuk melihatnya tertawa bercandaan dengan kawan satu gengnya.
Ada hal lain yang selalu membuatku menertawai diriku sendiri. Aku selalu menjadi bulan-bulanan guru BK di SMA juga karena selalu saja terlambat masuk sekolah. Aku selalu masuk lewat gerbang utama, bukan lagi gerbang khusus sepeda motor. Alasannya tak lain adalah agar selalu bertemu dengan cowok itu, karena diapun langganan terlambat. Setiap pagi, pastilah kami dan siswa lain yang terlambat harus berhadapan dengan guru BK. Namun aku tak pernah menyesalinya, keuntungannya toh aku bisa selalu melihatnya dari dekat.
Anggi adalah satu-satunya sahabatku hingga sekarang yang tau tentang cinta pertamaku itu. Dia pula yang selalu mendorongku untuk mengungkapkan perasaanku ini ke cowok rese itu.
“Lo yakin gak akan pernah ngomong ke dia? Enam tahun lo pendam perasaan lo ke Genta, ini masa-masa terakhir kita di SMA, mungkin ini saat-saat lo bisa sering ketemu dia. Kalo udah kuliah? Apa lo yakin juga lo bakal satu kampus satu jurusan satu kelas sama dia? Plis Del, lo bukan anak kecil lagi, apa susahnya sih?” ucap Anggi suatu hari.
Perpus siang itu cukup sepi karena bel istirahat kedua selalu menggiring seluruh penghuni kelas untuk menyambar menu makan siang atau sekedar pengganjal perut di kantin ataupun koperasi siswa. Aku sendiri masih sibuk memilah-milah buku yang akan ku pilih untuk bahan referensi karya ilmiahku sebagai tugas akhir menjelang UN.
“Delia, lo dengerin gue ngomong gak sih?” gerutu Anggi sekali lagi. Ensiklopedi cukup besar ditangannya ditutupnya dengan keras.
“ssst..bisa dimarahin penjaga perpus ntar?” omelku lirih. Aku memicingkan mata ke arah Pak Gus, penjaga perpus yang tampangnya macam Pak Raden tapi orangnya sih baik.
“Del, sumpah ya. Entah lo ini waras atau enggak, gue aja yang Cuma ngikutin tingkah aneh lo capek. Lo kerjaanya itu kepo mulu segala-gala tentang Genta, inget lo waktu SMP aja macem tom and jerry, kagak ada akurnya.”
“ya kan lo tau, sejak SMA gue mana pernah sekelas, satu-satunya cara ya gue jadi...”
“stalker!” sahut Anggi.
“cerewet. Udahan yok! Udah nih,” sambungku sembari menenteng tiga buah buku tentang autisme.
“Del, kenapa lo gak add fesbuk dia atau follow twitter dia, kan malah lebih gampang,” celetuk Anggi.
“GILA!!! Yang bener aja lo, dia musuh gue, sekali musuh tetap musuh, bisa jatuh harga diri gue!” nada suaraku meninggi. Pak Gus yang sedari tadi asik dengan korannya rupanya mendengar suaraku dan ber-sst ria ke arah kami. Sial!


Sejak hari itu aku selalu berpikir. Gimana kalau kami sudah kuliah nanti? Aku tak satu kampus dengannya. Aku tak lagi melihat Genta. Tidak pernah mengamati senyumnya lagi, tingkah urakannya, sikap cueknya, wajah coolnya. Aish!
Hari itupun tiba. Ya! Saat-saat terakhir masa-masa SMA. Wisuda pelepasan siswa. Aku selalu berusaha menepis bahwa ini adalah terakhir kali aku melihat wajah dan senyumnya. Aku percaya takdir, sangat percaya, tapi aku tak pernah percaya dengan suatu kebetulan. Menurutku sebuah kebetulan adalah rangkaian takdir yang sudah diatur. Cuma orang-orang saja selalu salah persepsi, entahlah.
Aku percaya takdirku. Jika suatu hari nanti aku bertemu dengan Genta, itu bukan suatu kebetulan melainkan bagian dari sebuah takdirku, Delia Cahya Tunggadewi.


Cafe Dezz terlihat sangat ramai sedari siang. Antrian pengunjung tak lagi mengular seperti sebelumnya. Aku mendongakkan wajahku ke orang-orang di depanku yang dari tadi tak juga lelah menanti giliran. Bolpoin ditanganku bahkan tak hentinya disibukkan dengan buku-buku yang terus saja disodorkan oleh orang-orang itu. Ffiuh!.
Aku menghela napas dan menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi. “yep! Antrian kelar!” lirihku.
Baru saja aku mengistirahatkan tubuhku, ponsel di saku jeansku sepertinya tak rela melihat majikannya bersantai sejenak. Suara Taylor Swift dengan Love Story-nya membuatku bergeming dari tempat dudukku.
“Halo, Hai Nggi,” sapaku. Aku melepas kacamata minusku.
“Haiii Del, gimana gimana? Sukses dong acara Launching novel pertama lo?” ucap Angggi penuh semangat.
“Alkhamdulillah, sepertinya iya, hahaha..jadi kapan lo balik? Salam buat nenek lo ya? Semoga cepet sehat,”
“lusa deh kayaknya, sorry nih Del, sebagai sahabat terkeren lo tapi di acara penting lo malah gue gak dateng, nyesel banget deh,”
“santai dong beb, operasi nenek lo lebih penting kali, oya, oleh-oleh dari Jogja jangan lupa! Hahaha..” sergahku.
“hahaha, lo pikir liburan gue liburan? oke deh, gue beliin lo oleh-oleh tapi gue gratisin satu buku lo beserta tanda tangan lo. Sekarang kan tanda tangan lo mahal,” kelakar Anggi.
“wuuu...bisa aja, siip deh! Yaudah, baik-baik disana ya,”
“siip! Bye Delon!”
“Deliaaaa Nggi!”
“iya Del..bye!”
“bye!”
Klik!
“aish! Selalu aja manggil seenak udel.” Gerutuku.
“permisi, masih bisa minta tanda tangannya Mbak Delia?” sapa sebuah suara.
Aku mendongakkan wajahku ke sosok di depanku. “boleh,” sahutku.
Entah, apa aku mimpi, antara percaya dan tidak. Benarkah cowok ini?. Aku memakai kacamata yang sempat aku lepaskan tadi.
“Genta?” itulah kali pertama aku menyebutkan namanya langsung di depan orangnya sejak bertahun-tahun lalu.
Genta mengangguk lalu tersenyum. Kali ini bukan Genta yang aku kenal dahulu. Entah kemana kesan urakannya. Kaos merah dipadu jaket putih dan sepatu kets putih menambah kesan innocent cowok itu.
“punya waktu sebentar Mbak?” ucap Genta.
“mm...maksudnya?” jawabku gugup.
“hanya ingin mengajakmu minum sebentar sekalian interview,” sahutnya.
Akupun mengiyakan namun sebelumnya meminta izin ke orang EO untuk keluar.


Tempat yang kami datangi lumayan nyaman dan tak terlalu ramai. Genta memilih tempat yang agak jauh dari pintu masuk restorant. Viewnya juga indah. Sebuah bukit kecil nan hijau terlihat menyejukkan dan memanjakan mata pengunjung.
“jadi, mau pesen apa? Jus jambu?” tanya Genta.
“What? Bagaimana kamu tau? Tapi okelah, makannya samain aja deh.” Sahutku.
Aku melemparkan pandangan jauh ke arah perbukitan. Sesekali tatapan mata kami beradu dan membuatku salah tingkah. Entah, padahal perasaan ini sudah lama namun masih tetap sama rasanya. Sudah dua kali aku pacaran dan putus. Namun, aku tidak pernah merasakan perasaan ini dengan dua pacarku sebelumnya. Dan aku sadar, perasaan ini masih sama dan utuh untuk Genta.
Pelayan restopun kembali membawa pesanan kami.
“jadi, sekarang sudah sukses dong ya jadi penulis,” Genta memulai pembicaraan kami pada akhirnya.
Aku tersipu malu mendapat pujian dari Genta.
“biasa aja, lagian ini kan kali pertamaku Ta,”
“setidaknya cita-citamu jadi penulis tercapai dong ya?”
“cita-cita? Bagaimana kamu tau?” pertanyaan itu kembali terlontar dari mulutku.
“gimana ya?” Genta hanya tersenyum menatapku sembari mengaduk-aduk Capuccino-nya.
“oya, kamu kerja dimana?” tanyaku mengabaikan pertanyaan pada Genta sebelumnya.
“sejak lulus sarjana dua tahun lalu, aku masih bantu ayah di kantornya.”
“oya? Bisnisman dong ya,”
“kamu sendiri?”, “aku kerja di sebuah perusahaan sebuah tabloid terkenal disini, ya sekalian nyalurin hobi jadinya. Passion­-ku udah aku dapetin disitu.”
Genta mengangguk. “jadi, Senja gak bisa bersatu dengan Bintang ya endingnya? Sayang sekali loh Del,”
Aku tersentak. Genta menyebutkan dua nama tokoh dalam novelku.
“hmm..Bintang hanya bisa dilihat, terlalu susah untuk diraih,” aku tersenyum.
“kalau suatu hari kebetulan mereka bertemu, balik lagi saling jatuh cinta gimana?”
“tidak ada sebuah kebetulan Ta, semua adalah takdir. Yaa..Bintang kan sudah menghilang, jika takdir akhirnya mempertemukan mereka...”
“happy ending?” sergah Genta.
“Genta..” ucapku.
“Del, terlepas itu takdir atau kebetulan, cinta sejati apa kamu percaya?”
“entahlah,” aku  menggeleng.
“bahkan mungkin ini kedengarannya bakal lucu. Well! Aku udah lama memperhatikan kamu Del, dari jaman kita SMP. Kita memang sering berantem, tapi itu sanyalah salah satu cara agar aku bisa terus deket sama kamu. Karena..”
“karena??”
“karena aku selalu gak punya keberanian buat bilang ke kamu,”
“jadi...”
“ya! Aku suka sama kamu, udah dari dulu, aku tau kamu suka jus jambu karena kamu selalu memesannya di kantin tempat nongkrong cowok-cowok. Aku tau cita-citamu jadi penulis, aku selalu membaca cerpen atau buletin mingguanmu yang kamu tempelkan di mading sekolah. Yaah..konyol memang,”
“jadi selama ini gak Cuma aku yang stalk kamu dong ya?” aku keceplosan membeberkan aibku sendiri pada Genta.
“maksudnya? Jadi...” seru Genta.
Aku kembali tersipu malu.
“Genta, apa Bintang yang selalu diharapkan Senja bakal ditakdirkan bertemu dan kembali bersama dengan kisah yang lain?” tanyaku.
“mungkin,” Genta tersenyum dan perlahan meraih tanganku.
Mataku bersaput mendung, perasaanku meledak-ledak bahagia. Aku percaya ini takdirku. Hari ini Tuhan memberikan dua hadiah terindah. Cita-citaku hari ini terwujud dan novel pertamaku berhasil terbit. Hadiah kedua dan terindah adalah cinta pertamaku, Genta, hari ini takdir mempertemukan kami.
“jadi...tetep sad ending?” ucap Genta menggoda.
“hmmm...bakal jadi Dwilogi, novel kedua gimana? Senja dan Bintang bersatu.” Aku tertawa renyah. Genggaman kedua tangan Genta semakin erat.
Aku kembali melemparkan pandanganku ke perbukitan. Angin berdesir menerbangkan dan membelai rambut panjangku. Aku menatap Genta kemudian. Cowok itu bukan lagi anak SMP atau SMA yang aku kenal beberapa tahun lalu, dia juga bukan musuh bebuyutanku lagi. Dia adalah cowok dewasa sekarang.
“kamu terlihat manis dengan kacamatamu sekarang,” ucap Genta.
“kamu memuji atau menggodaku?” cibirku.
“mensyukuri anugrah Tuhan,” lanjutnya disusul tawa kami berdua.
Kebetulan tak akan pernah datang jika semuanya bukan karena takdir dan suratan Sang Kuasa. Hmm..ini bukan tentang kebetulan dan takdir, ini tentang cinta pertamaku. Segalanya dimulai dengan unik, meninggalkan kenangan manis dan berakhir dengan sebuah senyuman bahagia karena terwujudnya harapan akan penantian yang sangat panjang.


#&^%&%$%#%^^$^ :)

@TiyasWidyastuti

Kamis, 24 Januari 2013

53 Menit


Aku mulai menikmati kesibukan yang menyertaiku tiap pagi. Perlahan fajar menyingsing menggantikan peran sang malam. Sahutan kicau pipit semacam pertanda absen kedatangan mereka. Pukul 6 kurang 15 menit aku telah siap dengan setelan jas biru donker dengan kemeja putih berenda. Memasangkan sebuah bros biru muda adalah sentuhan terakhir dan taraaa...aku siap!
Seperti biasa, aku telah hapal dengan jadwal bus besar antar kota yang selalu membawaku ke tempat tujuan. Tak berapa lama bus besar dengan dua pintu itu tampak menyorotkan lampu kearahku, lampu sign kiri tampak berkedip dan yap! Dengan susah payah karena heels 7 sentiku akupun berhasil menjejakkan kakiku di dalam bus. Entah kenapa meskipun harus pelan dan tak bisa berlari cepat jika harus mengejar bus tapi aku suka dengan sepatu ber-heels lumayan tinggi. High heels selalu membuatku lebih percaya diri meskipun itu artinya aku akan lebih terlihat jenjang dengan tinggi tubuhku 168 cm.
Sial! Selalu penuh dan jarang sekali mendapat tempat. Terpaksa berdiri lagi? Ah! Keluhku. Aku merapat kedepan mencoba mencari celah, bau parfum bercampur asap rokok menyeruak begitu saja. Oke sekali, perjalanan satu jam ini akan kembali aku ‘nikmati’, batinku lagi. Kebanyakan penumpang bus adalah langganan, para pegawai, pekerja kantoran, guru, anak-anak sekolah.
“mbak duduk sini,” celetuk sebuah suara. Aku melirik sekilas, tanpa terlalu peduli aku hanya mengukirkan senyum 2 senti ke kiri dan 2 senti ke kanan seperti yang pernah aku tau dari sebuah seminar ESQ, aku lalu mengambil tempat duduk yang sudah beralih hak padaku. Akhirnya...
“thanks,” ucapku pendek.
Cowok sebelahku menatapku ramah. Wajahnya tampan, aku menerka umurnya kira-kira 25 tahun, sekitar itu. Tubuhnya tinggi atletis.
“Unik.” Ucapnya kembali. Deg! Aku terhenyak, bagaimana mungkin dia bisa menyebutkan namaku. Bahkan aku tak mengenal manusia asing ini.
Dahiku berkerut nyaris menyatu. Kembali melirik, tergelitik rasa penasaran aku memberanikan diri untuk bertanya.
“tau nama saya?” tanyaku. Wajah itu kembali menoleh mengukirkan sebuah senyum manis diwajah bersihnya, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.
“hanya menebak, golongan darah AB?” ucapnya lagi.
Sial! Ini apaan sih orang? Batinku mulai penasaran, bagaimana mungkin dia tau bahkan golongan darahku. Apa jangan-jangan diapun tau ukuran sepatuku, ukuran jeansku. Huhh!
“anda siapa?” aku kembali menautkan alisku, semakin terdorong rasa penasaran amat sangat.
“Dylan!” ucapnya pendek selalu disertai ukiran senyum yang mempermanis wajah tampannya.
Aku menerima uluran tangannya.
“entahlah, aku gak mudah tertarik dengan seseorang, tapi jika ada orang yang membuatku tertarik dengan mudah aku bisa tau namanya bahkan seperti tadi, golongan darahmu,” tawanya pecah seketika. Aku semakin heran. Kualihkan pandanganku keseluruh penumpang bus, tak terlalu ada yang memperhatikan percakapan aneh kami.
“saya gak ngerti maksud anda,” aku masih memperhatikan wajahnya.
“kamu unik, berbeda dari yang lain. Aku juga gak tau kenapa, ini hari kelima aku memperhatikanmu dan kesempatan bisa ngobrol sama kamu malah baru sekarang” Dylan kembali tersenyum. Ah orang ini benar-benar membuatku frustasi. Aku baru saja mengenalnya namun kata-kata yang keluar dari mulutnya justru membuatku luluh.
Unik! Plisss! Kamu mau kemakan omongan orang asing ini? Batinku kembali berdebat dengan akal sehatku yang sempat tidak bisa menerima kebetulan aneh ini.
“kerja dimana?” tanyanya. Aku yang sedari tadi bengong sempat kaget. Perjalanan masih panjang rupanya, tapi kenapa aku menikmati duduk bersebelahan dengan orang ini?
“di Bank Suasta.” Jawabku, “sorry, kenapa kamu aneh banget, kita baru loh ketemu dan bicara, tapi tanpa tedeng aling-aling kamu bilang kayak tadi, kamu gak lagi sakit kan?” entah apa yang membuatku bertanya konyol macam itu. Astagaa...
Aku merasakan desir aneh. Ritme jantungku tak teratur, buliran keringat muncul membasahi pelipisku. Ah, kenapa jadi deg-degan begini. Aku melirik cowok itu pelan, berharap dia tak menangkap basah pandanganku. Dia mengenakan jaket kulit coklat tua, Kemeja biru muda dipadu dengan dasi bermotif luriknya tersembunyi dibalik jaket yang melekat ditubuhnya, dia membuatku kembali salah tingkah.
“aku bingung mau ngomong apa, kali ini aku benar-benar suka sama seseorang dan itu kamu. Percaya cinta pada pandangan pertama? Itulah yang aku rasakan pertama kali melihatmu.” Ucap Dylan. Ah, senyum itu lagi. Cukup Dylan, kamu aneh! Umpatku.
“bagaimana kita bisa bertemu lagi?” entah partikel-partikel keberanian darimana yang aku dapatkan sehingga kata-kata itu meluncur deras dari sela bibirku.
Begooo Unik! Sergahku dalam hati.
“sorry,” lanjutku pelan. Aku yakin mukaku memerah macam kepiting rebus. Dylan sempat terkikik. Rasa canggung serasa menghinggapi rasa percaya diriku.
Aku berusaha mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menelusup ke relung kalbu secara perlahan. Dylan lagi-lagi memperhatikanku. Pandanganku terhenti pada kaca bus yang mulai basah. Gerimis baru saja menitik. Buliran airnya beradu dengan kaca bus, aku semakin larut dan asik menikmati hujan.
Aku melirik perlahan jam tanganku. Beberapa menit lagi sampai ke kantorku.
“hujan lumayan deras, kamu bawa aja ini. Oya, ini kartu namaku, aku harap ini bukan pertemuan kita terakhir. Aku suka kamu.” Dylan menyerahkan sebuah jaket kulit coklat tua yang ia lepaskan sebelumnya. Kemeja biru mudanya lebih memperlihatkan kegagahannya.
“mata kamu ngasih tau aku kalo kamu juga tertarik denganku, benar begitu?” kata-kata Dylan semacam peluru yang melumpuhkan rasa percaya diriku. Ingin rasanya aku menghilang tiba-tiba dari hadapan cowok aneh ini. Ah, dia menebak dengan tepat. Sial!
Aku menerima jaket itu dan tentu saja kartu nama yang ia selipkan di saku jaketnya. Jujur, dengan perasaan penuh harap, harapan yang teramat sangat untuk dapat melihatnya kembali.
“berharap saja tebakanmu terkahir kali benar, atau aku akan berpikir seribu kali dengan ucapan dari cowok aneh yang telah membuatku luluh dengan kata-katanya.” Aku tersenyum lalu bergegas turun.
Hujan semakin liar saja, berkejaran untuk sampai ke bumi. Aku memayungi tubuhku dengan jaket kulit Dylan tak mungkin juga aku memakainya karena tubuhkupun sudah terbalut dengan jas. Semerbak aroma parfumnya sungguh sangat sedap. Ah Dylan, kenapa aku harus bertemu kamu.


Perasaan resah sedari siang tadi kembali melanda. Dylan benar-benar membuat perasaanku hari ini berantakan. Aku memandangi jaket yang telah terlipat rapi dikasurku. Malam memancarkan pesona bintang yang tak lelah berkedip semacam menyapaku yang terus saja memandangi mereka dibalik jendela kamarku.
Dylan Anugrah Wijaya. Aku mengeja deretan kata-kata di kartu nama itu. Nomer hape yang tertera di kertas putih itu sudah sejak siang nangkring di phone book hapeku.
Tanganku tak hentinya memainkan hapeku. Sms tidak sms tidak sms tidak.
Aku memberanikan diri serat meyakinkan bahwa tindakan yang aku lakukan tak salah. Dylan pasti ke-geeran. Ah bodo amat deh.

To : Dylan
Ini nomerku, Unik, makasih buat jaketmu pagi tadi, berguna banget kok.
Aku harap kita bisa satu bus lagi besok, aku pengen balikkin jaket kamu.
J

Aku deg-degan sendiri dibuatnya. Apa yang baru saja kulakukan?. Apa yang akan Dylan pikirkan tentangku coba? Aku meremas guling bermotif real madrid-klub favoritku.
Tak berapa lama, nada pesan masuk memecah kegelisahanku.

From : Dylan
Aku jadi orang paling galau hari ini, aku pikir kamu gak akan pernah sms aku.
Aku janji, kita pasti ketemu besok. Jaket itu kamu simpan aja.
Aku suka kamu. Ini kali ketiga aku ucapkan, mungkin kamu berfikir aku cowok gila.
Aku gila karna kamu Unik.
J

Aku kaget menerima balasan tak terduga itu. Aku melonjak-lonjak kegirangan layaknya gadis cilik yang mendapat boneka Barbie baru. Aku mengulangi membaca sms Dylan baru saja. Sekali dua kali tiga kali, puluhan kali. Aku stres! Aku akui itu. Tubuhku terasa sangat capek hari ini namun aku hanya bisa memandangi jaket coklat tua milik Dylan. Sepertinya guling kesayanganku malam ini tergantikan posisinya untuk kupeluk.
“sumpah ini cowok aneh tapi sukses buat jantungku mau copot,” ucapku sendiri.
Malam itu aku saling berbalas sms dengan Dylan. Cowok aneh, ketemu kali pertama di bus, bilang suka, bikin frustasi dan sukses membuat malamku berantakan karena pikiranku kacau gara-gara dia.


Hari ini aku serasa lebih segar. Seragam batik kantor aku kenakan. Hari ini adalah hari Jumat. Aku berharap dia muncul lagi. Satu bus lagi dan aku bisa bisa lebih lama lagi mengobrol dengannya.
Aku sudah berdiri di halte tempatku menunggu ‘jemputanku’. Beberapa menit lagi bus itu pasti sampai.
Aku menarik napas panjang lalu menghelanya. Pagi cukup segar, kondisi cuaca dan hatiku sinkron. Sama-sama cerah ceria. Aku tersenyum sendiri membayangkan kekonyolanku. Ada banyak pertanyaan yang bakal aku lontarkan jika bertemu cowok aneh itu.
Bus melaju pelan mendekatiku yang sudah mengambil ancang-ancang untuk segera naik.
“hay Mbak,” sapa pak kondektur yang mulai hapal denganku.
“pagi Pak! Semangat!” aku mengepalkan tangan kananku dan mengangkatnya. Pak kondektur membalasnya dengan tawa ringan.
Begitulah caraku menyapa setiap orang. Aku bukan tipe orang yang ingin dikenal orang lain dengan kesan pertama yang angkuh. Aku selalu menunjukkan kepada mereka bahwa aku ini berbeda, aku tak seperti kesan kebanyakan orang yang terlihat macam eksekutif muda sukses atau pegawai yang sombong.
Aku mencari tempat kosong. Tak berhasil, selalu, semuanya penuh. Kuedarkan pandanganku kesemua penumpang bus, wajah itu tak juga kujumpai. Bahkan senyumnya yang ingin sekali kulihat tak juga muncul. Dylan, kamu dimana? Resahku. Senyum yang sempat membuatku berharap hari ini bakal ketemu pudar begitu saja.


Hari kamis waktu itu, 53 menit itu berlalu penuh arti. Kali pertama dan akhir dari sebuah pertemuan. Dylan, si cowok aneh yang muncul tiba-tiba kini menghilangpun tiba-tiba. Aku tak menemukan alamat rumah ataupun kantornya di kartu nama yang diberikannya kala itu. Hanya nomer ponsel yang sampai sekarangpun non aktif jika kucoba hubungi.
Bulan kedua sejak 53 menit itu. Di bus antar kota yang membawaku ke tempat kerja. Hanya jaket kulit coklat tua ini yang menjadi kenang-kenangan antara kami. Mungkin suatu saat nanti aku bisa menemuinya lagi, tetapi entah dimana bahkan sang waktupun tak bisa menjawabnya. Jembatan waktu-ya!, aku ingin sekali saja bertemu dan menyapanya, menatap wajahnya dalam-dalam dan membiaskan senyum terindah di wajahku untuknya, untuk dia yang sekali datang dalam hidupku dan sekali itu pula memberi arti tersendiri di celah relung kalbu.



~~Tewe

Selasa, 27 November 2012

Kopi dan Senja

Senja semakin menua. Siluet jingga menggelayut malas di cakrawala luas. Suara burung entah apa namanya menyumbang ramai jalan setapak di sebuah desa sore itu. Pohon pisang maupun mangga dan beberapa lainnya semacam pagar yang berderet rapi di kanan-kiri jalan.
Langkah kecil itu semakin terseret, serasa malas namun rutinitas menuntutnya. Dokter muda itu menenteng tas hitamnya. Sepatu ketsnya sedikit nyentrik berwarna merah bergaris biru muda, jilbab abu-abunya sedikit berantakan karena keadaan sore dan pastinya ia lelah seharian melayani pasien di puskesmas sebuah desa terpencil di pinggiran kota Semarang.
Langkahnya terhenti seketika. Pemandangan dengan sebuah rumah mungil sederhana dengan bohlam 5 watt menyala di beranda beralas tanah, sungguh menyita perhatiannya. Kakinya menuntunnya untuk memasuki pekarangan yang tak terlalu luas yang di tumbuhi bermacam-macam tanaman.
“Sore Dokter Dan!” sapa ramah gadis cilik itu membuat sang dokter mengukirkan senyum seketika.
“Assalamualaikum Lis,” sapa dokter Dan, masih tersenyum lalu duduk di sebuah bangku panjang menjejeri gadis yang dipanggil Elis.
“baru pulang Dok?” tanyanya, tangannya mengaduk pelan kopi pahit dihadapannya.
“Kak Danila Lis, jangan panggil Dokter dong,” sergah Danila.
“Elis kan Cuma panggil Kak Dan kalau Kak Dan lagi gak pakai baju seperti ini, kalau pakai baju putih kaya gini ya panggil Dokter, hehehe” gadis 9 tahun itu tersenyum lugu. Menggelitik Danila untuk mengacak-acak rambut hitam sebahunya.
Elis, gadis kelas empat SD itu sangat unik. Kebiasaannya setiap menjelang senja itu membuat Danila bertanya-tanya. Tepatnya tiga minggu yang lalu sejak Danila pindah tugas di puskesmas desa ini.
Gadis cilik itu hanya tinggal serumah dengan neneknya yang hampir berumur 70 tahun. Menurut cerita neneknya-Nek Ida- Ayah Elis meninggal sejak Elis masih 8 bulan dalam kandungan ibunya. Ibunya sendiri adalah seorang TKI yang bekerja sejak 3 tahun yang lalu di Malaysia.
Ya, kehidupan sederhana keluarga Elis menuntut ibunya bekerja menjadi TKI di luar negeri. Bagaimana mungkin negeri yang kaya dan sejahtera seperti Indonesia ini masih banyak pedesaan kecil yang masih sangat membutuhkan tenaga medis, sekolah-sekolah yang tak layak pakai, serta lapangan pekerjaan yang teramat sangat minim. Padahal, disana-sini, di daerah ibu kota masih ada saja tikus-tikus tak berhati yang hobi menggerogoti negara.
Andai saja Danila bisa berbuat banyak.
“Kak dokter! Kok bengong, Elis masuk dulu ya, udah hampir maghrib,” seru Elis membuyarkan lamunan pendek Danila.
“eh iya Lis, kakak juga pulang dulu ya, salam buat nenek kamu, Assalamualaikum,” Danila melangkah meninggalkan gadis itu. Elis masih berdiri di beranda lalu melambaikan tangannya.
Danila melangkah terburu. Tampak bebatuan di depan rumah Elis yang menghitam. Jelas sekali itu akibat tumpahan kopi yang setiap hari dibuang ke batu-batu yang tersusun abstrak sebagai jalan setapak.
Suara adzan maghrib berkumandang, menyejukkan hati yang lelah, pikiran yang penatpun serasa damai kala panggilan sang Illahi menyeru memanggil umatnya untuk menghadap sang Empunya alam semesta.


Danila masih berbaring malas di tempat tidur sebuah ruangan kecil tempatnya kos. Dulu, sewaktu di Bandung, rumahnya sangat bagus berderet megah di komplek perumahan elit. Hidupnya sedari kecil bersama dua kakaknya seperti tak mendapat masalah. Flat. Datar. Dia tergolong anak yang pandai. Dari TK hingga SMA selalu mendapat peringkat di kelasnya. Bahkan waktu mendaftar kuliah, dia bisa lolos di SNMPTN dan masuk universitas favorit pilihannya.
Pikiran-pikiran itu seperti berterbangan di langit-langit kamar bercat putih itu. Memori otaknya kembali melayang pada kejadian sore tadi. Elis. Gadis itu selalu membuatkan secangkir kopi hitam dengan resep andalan ibunya yang selalu ia ceritakan.
“kopi ini enak loh kak, hangat dan manis, kata ibu kesukaan dia satu sendok teh kopi dan tiga sendok teh gula.”
Danila tersenyum geli. Elis tidak pernah tau kapan ibunya yang selalu ia nanti tiap menjelang senja itu akan kembali. Menurut neneknya dan beberapa tetangga, ibu elis sempat mengirimkan surat sebulan yang lalu yang berisikan bahwa dia akan kembali ke Indonesia karena kontrak kerjanya sudah selesai.
Hal itu tentu saja membuat elis kecil bahagia dan secercah harapanpun selalu menyelimuti wajahnya setiap hari. Harapan dari 3 tahun yang lalu. Dia ingin sekali melihat ibunya, ingin memeluknya dan mencium ibunya. Begitu cerita elis suatu hari.
Henfon di meja rias berteriak nyaring mengalihkan perhatian Danila. Tangannya meraih seketika. Ah sebuah pesan masuk. Pikirnya. Nama seorang cowok mampir di layar henfonnya.
Danila tak menghiraukannya. Seperti biasa, Adin, pacarnya sejak lima bulan yang lalu. Perempuan itu melirik jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 11 malam. Lelah dan kantuk semakin menyerang. Ah lebih baik tidur dan siapkan fisik lebih untuk esok hari.
Mata itu pelan-pelan terpejam. Menyambut dimensi mimpi tanpa batas. Sejenak meninggalkan penat dari dunia yang setiap hari ia jalani. Mimpi, akankah sejenak singgah?


Sang surya kembali bertengger di ufuk timur. Menyapa dengan senyum hangatnya. Burung-burung kembali berceloteh nyaring. Danila bergegas ke puskesmas desa tempat ia praktik. Jalanan desa sudah mulai rame dengan lalu lalang penduduk. Motor-motor yang dengan modifikasi knalpot ala anak muda desa sungguh memekakan telinga. Sungguh kurang sopan, batinnya.
Dokter 26 tahun itu selalu tersenyum ramah tatkala bertegur sapa dengan penduduk desa. Alhasil, keberadaan Danila sering membuat orang disekitarnya merasa nyaman dan senang.
Danila terhenti sejenak. sebuah suara memanggil namanya. Ia menoleh seketika. Tampak seorang Ibu berkain batik melambaikan tangannya dan berlari kecil mendatangi Danila.
Danila tersenyum dan sedikit mengerutkan keningnya. Ada apa dengan ibu ini?. Pikirnya.
“ada apa Bu? Ada yang bisa saya bantu? Siapa yang sakit?” tanya Danila ramah.
“bukan Dok, itu si ibunya Elis, ehm..anu..dia..” Ibu paruh baya itu tambak gugup, terlihat sekali nada bicaranya gemetar.
“iya Bu, kenapa?” Danila semakin penasaran.
“Ibunya Elis tadi pagi dibawa ambulan dari Jakarta, dia meninggal Dok, ayo kita kesana,” secepat kilat si ibu membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Danila yang syok dengan kabar duka itu.
“Innalillahi wainnailaihi roji’un” lirihnya pelan. Dia melangkahkan kakinya mengikuti arah ibu tadi yang sudah cukup jauh meninggalkannya.
Tak berapa lama sampailah dia di sebuah rumah yang hampir setiap sore ia kunjungi. Matanya tak dapat lagi menyembunyikan sedihnya. Kedua bola matanya bersaput mendung. Bagaimana mungkin Elis akan menerima ini?. Ia merasakan hancurnya hati Elis meskipun ia belum pernah bertemu dengan ibunya sekalipun. Ah malangnya gadis cilik itu.
Danila memasuki rumah mungil itu. Tampak disana-sini tetangga yang mulai berdatangan. Bendera kuning yang terpasang tampak menyayat hati.
Inikah perjumpaan terakhir itu? Inikah pertemuan yang menjadi suratan takdir? Inikah pemupus harapan Elis? Mengapa Tuhan?. Pertanyaan itu berkecamuk dalam hati Danila.
Danila mendekati Nek Ida yang tersedu sedari tadi menatap wajah anaknya untuk terakhir kali. Danila yakin, harapan nek Ida sebesar harapan Elis, membayangkan Ratna, anaknya akan kembali dan berkumpul dengan keluarga kecilnya.
Perempuan itu mendekat dan sesekali menyeka air matanya. Tak lama Danila mohon ijin keluar.
Dokter muda itu belum melihat Elis dari tadi. Pandangan matanya menyapu ke seluruh ruangan kecil rumah tersebut. Namun tak ada juga. Ia membawa langkah kakinya ke depan rumah.
Elis masih duduk di bangku itu. Bangku yang setiap sore menjadi kawannya menanti. Namun kali ini binar pengharapan itu redup, padam sama sekali. Secangkir kopi hitam itupun tak ada di cangkirnya. Cangkir itu dibiarkannya kosong. Tangan kanannya menopang wajahnya.
Danila lalu duduk disamping gadis itu. Gadis itu tak bergeming sedikitpun. Matanya yang sembab sudah bisa ditebak jika gadis itu menangis cukup lama.
“Kak Dan ngerti kok,” ucap Danila membuka suara. Isak tangis semakin nyaring terdengar dari arah dalam rumah.
Elis tak menjawab. Pandangan matanya masih menerawang jauh seperti menjelajah menembeus pagar halaman rumahnya hingga pohon-pohon dan perbukitan diseberang desanya.
“kematian itu emang dekat dengan kita Lis, kata Ustadz Kak Dan dulu, setiap yang memiliki nyawa pasti akan merasakan mati.” Danila mencoba tersenyum. Air matanya tak dapat ditahannya lagi. Jatuh menetes dipipinya yang bersih.
“terus kenapa Alloh gak ngasih ijin barang sedikit saja buat Elis ketemu Ibu, memeluk dan cerita ke Ibu?” Elis berucap kemudian, nada suara gadis polos itu benar-benar membuat hati Danila sesak.
“umur seseorang mana ada yang tau, begini Lis, Kak Dan yakin ibu kamu orang baik. Buktinya Alloh mengambil ibu duluan kan?”
“memang begitu Kak Dan?” Elis kembali meneteskan air matanya.
Danila mengangguk pelan. Tangannya serta merta meraih gadis itu ke pelukannya. Didekapnya erat bocah itu. Bagaimana mungkin Elis harus menjadi anak yatim piatu sekecil ini Ya Alloh?. Bisiknya dalam hati.


Senja itu masih menyisakkan awan mendung dalam hati Danila setelah seminggu yang lalu. Kakinya melangkah penuh semangat untuk segera sampai ke kosnya.
“sore Kak Dan,” sapa Elis di beranda rumahnya. Melambaikan tangannya pada Danila. Danilapun menghampiri gadis itu.
“Elis, tumben, masih membuat kopi?”
“buat Kak Dan ya? Resepnya masih sama kok, waktu itu Kak Dan minta tapi Elis bilang buat Ibu, sekarang Elis bakal bikinin buat Kak Dan,” sebuah senyum tulus terukir dibibir Elis. Hatinya mungkin masih sedih perihal kehilangan ibundanya seminggu lalu namun Elis adalah gadis yang sangat tegar dan tabah.
“serius nih? Wah Kak Dan bayar berapa dong?” canda Danila.
“gak usah Kak Dan, dari pertama Kak Dan udah mau jadi temen aku aja aku seneng kok,” sergah Elis mantap.
“yaudah, Kak Dan minum nih kopinya,”
Danila meraih gagang cangkir itu lalu menyeruput kopi hitam itu. Dia memang penggemar kopi namun kali ini dirasanya kopi itu beda. Kopi ternikmat sedunia. Ya, memang agak berlebihan. Kopinya hanya kopi biasa. Namun senyum Elis lah pemanis kopi di senja hari ini.
Elis tersenyum senang kala Danila mengacungkan ibu jarinya.
Dari gadis ini Danila banyak belajar. Belajar tentang arti memiliki dan kehilangan, belajar arti sebuah keluarga, belajar memahami kehidupan meski itu sederhana. Dari Elis, Danila tau, artinya tulus sebuah persahabatan, kasih sayang penuh keikhlasan.
“Kak Dan, besok-besok kalau Kak Dan pulang mampir kesini aja terus, pasti Elis bikinin kopi deh,” gadis itu memecah kebisuan Danila seketika.
“oke deh, janji ya sama Kak Dan, jangan sedih lagi, hidup kamu masih panjang, kamu masih ingin bercita-cita seperti Kak Dan kan?” Danila tersenyum.
“siap Kak Dan! Aku janji demi nenek dan Kak Dan,” gadis itu meletakkan telapak tangannya dengan gerakan hormat. Danila terkekeh.
Mungkin kopi ini tak akan lagi terbuang dengan sia-sia bersama harapan tak berujung. Kopi dalam cangkir ini tak akan lagi mengotori batu-batu kecil yang berwarna hitam pekat karena kopi-kopi yang terbuang dan membekas.
Ah, rasanya kehilangan itu seperti rasa kopi di kala senja, terasa sangat pahit. Namun, senyum ketegaran dan rasa keikhlasanlah pemanis kopi itu. Pemanis yang membuat butiran-butiran akan rasa kehilangan berubah menjadi manisnya keikhlasan pada Sang Khalik yang telah menetapkan takdir setiap manusia.





Jumat, 16 November 2012

I'm happy beyond words


I feel funny writing a letter to you like this
I also want to tell you I’m happy beyond words
Because I can see you whenever I want to
And I want to tell you I’ll never be separated from you
I was so happy picturing my life with you by my side
You just breathe, smile and stay with me
I promise, I’ll be the kind of someone you want
Hmm...I’ve been thinking about it...
Why would be left of my life if you weren’t there?


Rabu, 14 November 2012

Kita dan Perasaan


Perasaan ini lama-lama membuatku terusik
Menerobos halus ke dalam celah-celah kalbu
Berdesir pelan darahku tatkala perasaan itu muncul
Lidahku kelu, ada sesuatu yang menyekat tenggorokanku
Hingga kata-kata yang entah apa tak sanggup meluncur di sela-sela bibirku
Menelusup lebih dalam, perasaan itu sangat aneh, indah tapi terkadang menyesakkan
Bagai pecahan kristal masa lalu yang sempat terulang
Masa lalu yang sempat indah berkeliaran di memori otakku
Namun menorehkan luka yang sangat dalam
Dan balutan penyembuh luka itu kian lama datang
Yaitu perasaan ini, aku bisa merasakan tapi belum bisa menebaknya
Aku takut salah untuk kedua kali
Aku takut harapan yang membuncah itu ternyata semu dan hampa
Terkadang aku merasa kamulah yang menimbulkan perasaan ini ada
Perasaan yang entah kapan ditanam dan tiba-tiba tumbuh mengakar dalam
Aku sesekali ingin protes, aku tak menginginkan perasaan seperti ini lagi
Perasaan yang pernah menebar luka dan sempat tak terobati
Tapi kini semua seolah sia-sia
Perasaan itu sudah menjalar, indah terkadang menyesakkan
Kamu tak pernah memberitahuku sola perasaan itu
Perasaan yang sama-sama kita tau, kita rasakan, dan kita pahami
Tapi kita enggan bersuara dan saling tak acuh melawannya
Kita berusaha menepisnya, membuangnya, itu yang membuat sesak
Tetapi itu sangat indah dan patut disyukuri
Ya, karena kamulah perasaan ini tumbuh...


Minggu, 11 November 2012

Ex-enemies


Kalian pernah tau gak rasanya punya musuh?. Well, kalau lo pernah tau itu pasti lo bakal berang banget sama musuh lo dan pengen banget melempar itu orang sama bakso berkuah super pedas yang lagi lo santap dan ngasih saos sambal ke bajunya terus numpahin isi gelas lo.
Ah, begitulah. Oke, gue ngerti sih. Persaingan atau selisih paham bahkan iri biasanya jadi salah satu faktor kenapa kita bisa punya saingan yang namanya musuh. Salah satunya kisah di bawah ini. Hmmm...


Brak!!! Wilma menggebrak meja belajar adiknya. Ingga yang sedang menulis di buku catatannya terpaksa menghentikan kegiatannya itu.
“apaan sih Kak? Masuk kamar orang gak ketok pintu malah gebrak meja gak jelas!” protes Ingga.
“gue udah tau semuanya, gue gak mau kalo lo pacaran sama Yopi, titik!” seru Wilma. Alasannya jelas sudah kenapa dia melipat mukanya dan marah kepada adik cewek satu-satunya itu.
“kok gitu? Kenapa? Orang yang pacaran juga gue kenapa lo yang sewot sih Kak?” lagi-lagi Ingga protes tak dapat menerima alasan kakaknya tersebut. Dia membanting bolpoinnya ke meja lalu menghilang ke luar kamar.
Wilma semakin naik pitam. Adiknya satu itu sama-sama keras kepala. Jarang akur dan hobi berantem padahal mereka cewek. Wilma super tomboy, adiknya justru lebih feminim.
“Inggaaaaa...kalo lo gak mau putus dari bocah ingusan itu, awas lo!” ancam Wilma dari kamar Ingga.
“gue gak peduli!” teriak Ingga.
---------------------------
Wilma merapikan sepatu kets putihnya, tak lupa dia memakai kemeja yang tak dikancingnya. Kaos ungunya dibiarkan terlihat. Tangannya dengan cekatan meraih sarapan yang ada dipiringnya. Nasi goreng pedas-favoritnya.
“Kak, motor gue ngadat tuh, anterin gue ke sekolah ya?” Ingga membuka obrolan. Kakaknya seperti tak mengiraukannya. Wilma masih asik mengunyah nasi gorengnya.
“Kak Wilma! Lo denger gue gak sih?” celetuk Ingga dengan nada meninggi.
“oh, lo ngomong sama gue?” jawab Wilma santai tanpa menoleh pada adiknya yang mulai cemberut.
“kagak! Ngomong sama sendok! Pliss dong Kak, serius nih, lo ngampus pagi ini, anter gue ya,” Ingga memelas.
“minta anter nyokap kek atau bokap lah, males gue,”
“Kak Wilma!!! Ayah jam segini gak ada di meja makan berarti dia udah kerja, ibu lagi ambil kue di tetangga, lagian lo rese bener sih,”
“protes mulu! Anak kecil kebanyakan ngoceh! Yaudah buruan! Tapi inget lo kudu putus sama adek sepupu si Arya itu!”
“berisik!” kata Ingga.
---------------------
Suasana SMA tempat Ingga bersekolah sudah ramai. Ingga membetulkan baju dan rambutnya sebentar.
“ih ganjen amat lo!” celetuk Wilma.
“komen mulu! Daripada lo, dandanan kayak cowok, pantes aja jomblo menahun!” Ingga berlari menjauh sembari menjulurkan lidahnya ke arah Wilma.
“eh sialan lo! Gue gak mau jemput lo!” Wilma kesal.
-----------------------------
Ingga meletakkan tasnya di meja paling depan. Dia mengeluarkan buku cetak kimia, mata pelajaran jam pertama. Sekedar mengulang materi yang ia baca semalam. Ingga memang tergolong siswa pandai di kelas. Dia masuk peringkat 3 besar dan beberapa kali mewakili sekolahnya di ajang olimpiade SAINS SMA.
Cowok itu berjalan pelan memasuki ruang kelas lalu menghampiri meja Ingga.
“pagi Ngga, kok bete?” tanya Yopi, pacar Ingga sekaligus teman kelasnya selama hampir dua tahun ini.
“jelas lah, pokoknya aku gak mau kayak gini terus Yop. Kakak gue selalu protes sama hubungan kita Cuma gara-gara sepupu kamu itu.” Celoteh Ingga.
“kok gara-gara Kak Arya? Kak Wilma sendiri sih selalu bikin ulah sama Kakak sepupuku.” Protes Yopi tak mau kalah.
“udah deh, kalo kita berargumen kayak gini ujungnya kita yang berantem. Kita cari ide gimana caranya mereka bisa baikan. Masa iya musuhan dari jaman SMP? Awet bener kayak pake formalin.” Gerutu Ingga.
“aku setuju sama usulmu. Kamu emang pinter deh say,” goda Yopi pada Ingga.
“huhhh...dasar cengo! Balik sana ke tempat dudukmu, ntar Rina dateng bisa didemo kamu gara-gara menyabotase tempat duduk dia disini, hahahaha”
------------------------
Gedung D lantai 1 di salah satu kampus Negeri di Ibukota tampak ramai. Bukan karena jam mata kuliah yang telah selesai melainkan ulah beberapa mahasiswa.
“eh, lo kan yang bikin ban motor gue kempes?” seru sebuah suara.
Wilma menoleh tanpa rasa bersalah. Arya sudah berdiri di belakangnya. Cowok tinggi itu benar-benar marah.
“what? Anda sedang berbicara dengan saya?” sahut Wilma dengan gaya tengilnya santai sembari tersenyum sinis.
“siapa lagi cewek jadi-jadian tukang rusuh disini?”
“ehm, udah sekolah sampe kuliah kayak gini cara ngomong masih gak ada sopan-sopannya ya? Kayak anak TK!”
“sialan! Awas lo! Liat ntar!” Arya berlalu bersama dua temannya. Wilma semacam merasa puas berhasil membalas perbuatan Arya-musuhnya.
Arya dan Wilma memang sudah gak akur semenjak mereka SMP kelas delapan. Dulu, selisih faham diantara merekalah yang menyebabkan mereka berseteru gak jelas sampai sekarang ini.
Awalnya, Arya dan Wilma sama-sama terpilih sebagai kandidat peserta olimpiade Matematika yang akan mewakili SMP mereka. Namun, suatu hari Arya jatuh sakit dan opname di rumah sakit selama beberapa hari. Karena alasan waktu yang mendesak, akhirnya terpilihlah Wilma yang tadinya hanya peserta cadangan. Arya yang mengetahui hal ini marah tanpa sebab, dia mengira Wilmalah yang selama ini bermuka manis di depan para guru agar dia yang terpilih.
Wilma tak mengerti awalnya, namun Arya justru memperkeruh suasana yang membuat Wilmapun merasa dipojokkan.
Karena hal sepele dan salah paham diantara merekalah yang membuat mereka saling bermusuhan.
--------------------------
Kejadian itu sudah berlalu sekitar 3 minggu yang lalu. Arya vs Wilma sudah bukan buah bibir teman sefakultas mereka gara-gara ulah mereka yang sering keterlaluan dan berimbas ke teman-teman mereka atau bahkan salah sasaran kepada Dosen.
Wilma bukan lagi cewek aneh menyebalkan dimata Arya begitu juga sebaliknya.
Hidup memang selalu menyimpan misteri. Kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok meskipun kita dengan rapi mensetting planing dari kemaren atau lusa untuk besok.
Arya dan Wilma pernah bersumpah di depan teman-temannya sewaktu SMA bahwa mereka sampai kapanpun juga gak akan pernah bersatu. Konyol memang, macam anak TK yang berantem lalu musuhan hanya karena rebutan lolipop seharga 3000. Alih-alih sudah terkenal sebagai musuh toh sekarang siapa yang menyangka kalau mereka sekarang justru bersahabat baik.
Wilma, gadis tomboy hobi berantem dan Arya yang juga berkarakter keras kepal dan egois kini menyatu bak dua unsur yang setara setelah direaksi. Dua unsur berbeda jenis, sifat maupun atom relatifnya kini kompak dan sempat menimbulkan heboh dikalangan teman-teman kampus mereka.
Ini semua bukan karena mereka sendiri juga, melainkan kerjaan Ingga dan Yopi yang dengan segala usaha, susah payah menyatukan kedua kakaknya itu. Ingga muak dengan sifat kekanakan kakaknya. Demikian pula Yopi yang selalu berusaha tutup kuping tiap kakak sepupunya itu melontarkan ocehan pedasnya gara-gara musuh bebuyutannya, Wilma.
Dan akhirnya kucing dan tikus yang selama ini selalu berantem kini bersatu dan bersahabat. :)




So, buat seseorang yang pernah menganggap gue musuh, gue seneng loh, itu artinya lo nganggep gue ada. Inget, hidup itu gak melulu Cuma buat ngurusin orang lain kok. Capek loh musuhan itu. Nguras emosi!. Hahahaha.
Semoga Cuma ada mantan musuh sama mantan pacar *eh* ya bukan mantan sahabat atau mantan teman. #kyaaaaaa