Aku tidak pernah tau
bagaimana caranya memulai. Aku mengenalnya dulu, bertahun-tahun yang lalu,
namun aku pastikan aku tak benar-benar mengenalnya. Cinta pertama atau cinta
monyet apapun itu. Siapa yang menyangka dialah cinta pertamaku, aku
menyadarinya tapi percuma. Hanya sebuah cerita klasik masa putih-biru di dalam
sebuah kisah hidupku.
Dia tak terlalu spesial.
Tapi kenyataanya? Satu, dia benar-benar membuatku tertarik dan benar-benar
menyukai cowok urakan macam dia. Dua, dia berbeda dengan cowok lain, meski tak
istimewa tetapi dia unik, seenaknya sendiri, masa bodoh dengan aturan. Dia
selalu merasa hidup adalah anugrah dan dia harus bisa menikmatinya tanpa orang
lain atur. Tiga, terlepas dari itu semua, dia adalah cowok terpandai di kelas
bahkan ranking paralel tiap semesternya. Ini yang selalu membuatku iri
bagaimana bisa cowok model “semau gue” tapi cemerlang otaknya.
Hmm..kisah lalu, empat
atau lima? Yah, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tapi sekarang, bahkan aku tak
lagi melihat wajahnya sejak wisuda SMA-ku. Aku mengenalnya sejak pertama kali
masuk sebuah sekolah menengah pertama di kotaku. Begitu banyak kisah
tentangnya.
Tiga tahun masa SMP
ternyata sangat singkat. Aku selalu satu kelas dengannya. Akrab? Boro-boro,
mungkin hampir satu angkatanku tau jika kami itu musuh bebuyutan. Lucu memang,
tapi memang dia itu suka cari perkara dan masalah dengan siswa lain. Bahkan
semua guru hapal dengan kelakuan kami karena bolak-balik dipanggil oleh BK.
Masa putih-abu-abu. Aku
satu sekolah lagi dengannya namun tak pernah satu kelas. Aku sering
memperhatikannya dari jauh, ke perpus namun memutar jalan melewati kelasnya
untuk sekedar memastikan dia ada atau tidak di kelas. Ke kantin khusus cowok
hanya untuk melihatnya tertawa bercandaan dengan kawan satu gengnya.
Ada hal lain yang selalu
membuatku menertawai diriku sendiri. Aku selalu menjadi bulan-bulanan guru BK
di SMA juga karena selalu saja terlambat masuk sekolah. Aku selalu masuk lewat
gerbang utama, bukan lagi gerbang khusus sepeda motor. Alasannya tak lain adalah
agar selalu bertemu dengan cowok itu, karena diapun langganan terlambat. Setiap
pagi, pastilah kami dan siswa lain yang terlambat harus berhadapan dengan guru
BK. Namun aku tak pernah menyesalinya, keuntungannya toh aku bisa selalu
melihatnya dari dekat.
Anggi adalah satu-satunya
sahabatku hingga sekarang yang tau tentang cinta pertamaku itu. Dia pula yang
selalu mendorongku untuk mengungkapkan perasaanku ini ke cowok rese itu.
“Lo yakin gak akan pernah
ngomong ke dia? Enam tahun lo pendam perasaan lo ke Genta, ini masa-masa
terakhir kita di SMA, mungkin ini saat-saat lo bisa sering ketemu dia. Kalo
udah kuliah? Apa lo yakin juga lo bakal satu kampus satu jurusan satu kelas
sama dia? Plis Del, lo bukan anak kecil lagi, apa susahnya sih?” ucap Anggi suatu
hari.
Perpus siang itu cukup
sepi karena bel istirahat kedua selalu menggiring seluruh penghuni kelas untuk
menyambar menu makan siang atau sekedar pengganjal perut di kantin ataupun koperasi
siswa. Aku sendiri masih sibuk memilah-milah buku yang akan ku pilih untuk
bahan referensi karya ilmiahku sebagai tugas akhir menjelang UN.
“Delia, lo dengerin gue
ngomong gak sih?” gerutu Anggi sekali lagi. Ensiklopedi cukup besar ditangannya
ditutupnya dengan keras.
“ssst..bisa dimarahin
penjaga perpus ntar?” omelku lirih. Aku memicingkan mata ke arah Pak Gus,
penjaga perpus yang tampangnya macam Pak Raden tapi orangnya sih baik.
“Del, sumpah ya. Entah lo
ini waras atau enggak, gue aja yang Cuma ngikutin tingkah aneh lo capek. Lo
kerjaanya itu kepo mulu segala-gala tentang Genta, inget lo waktu SMP aja macem
tom and jerry, kagak ada akurnya.”
“ya kan lo tau, sejak SMA
gue mana pernah sekelas, satu-satunya cara ya gue jadi...”
“stalker!” sahut Anggi.
“cerewet. Udahan yok!
Udah nih,” sambungku sembari menenteng tiga buah buku tentang autisme.
“Del, kenapa lo gak add
fesbuk dia atau follow twitter dia, kan malah lebih gampang,” celetuk Anggi.
“GILA!!! Yang bener aja
lo, dia musuh gue, sekali musuh tetap musuh, bisa jatuh harga diri gue!” nada
suaraku meninggi. Pak Gus yang sedari tadi asik dengan korannya rupanya
mendengar suaraku dan ber-sst ria ke arah kami. Sial!
Sejak hari itu aku selalu
berpikir. Gimana kalau kami sudah kuliah nanti? Aku tak satu kampus dengannya.
Aku tak lagi melihat Genta. Tidak pernah mengamati senyumnya lagi, tingkah
urakannya, sikap cueknya, wajah coolnya. Aish!
Hari itupun tiba. Ya!
Saat-saat terakhir masa-masa SMA. Wisuda pelepasan siswa. Aku selalu berusaha
menepis bahwa ini adalah terakhir kali aku melihat wajah dan senyumnya. Aku
percaya takdir, sangat percaya, tapi aku tak pernah percaya dengan suatu
kebetulan. Menurutku sebuah kebetulan adalah rangkaian takdir yang sudah
diatur. Cuma orang-orang saja selalu salah persepsi, entahlah.
Aku percaya takdirku.
Jika suatu hari nanti aku bertemu dengan Genta, itu bukan suatu kebetulan
melainkan bagian dari sebuah takdirku, Delia Cahya Tunggadewi.
Cafe
Dezz terlihat sangat
ramai sedari siang. Antrian pengunjung tak lagi mengular seperti sebelumnya.
Aku mendongakkan wajahku ke orang-orang di depanku yang dari tadi tak juga
lelah menanti giliran. Bolpoin ditanganku bahkan tak hentinya disibukkan dengan
buku-buku yang terus saja disodorkan oleh orang-orang itu. Ffiuh!.
Aku menghela napas dan
menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi. “yep! Antrian kelar!” lirihku.
Baru saja aku
mengistirahatkan tubuhku, ponsel di saku jeansku sepertinya tak rela melihat
majikannya bersantai sejenak. Suara Taylor Swift dengan Love Story-nya membuatku bergeming dari tempat dudukku.
“Halo, Hai Nggi,” sapaku.
Aku melepas kacamata minusku.
“Haiii Del, gimana
gimana? Sukses dong acara Launching novel pertama lo?” ucap Angggi penuh semangat.
“Alkhamdulillah,
sepertinya iya, hahaha..jadi kapan lo balik? Salam buat nenek lo ya? Semoga
cepet sehat,”
“lusa deh kayaknya, sorry
nih Del, sebagai sahabat terkeren lo tapi di acara penting lo malah gue gak
dateng, nyesel banget deh,”
“santai dong beb, operasi
nenek lo lebih penting kali, oya, oleh-oleh dari Jogja jangan lupa! Hahaha..”
sergahku.
“hahaha, lo pikir liburan
gue liburan? oke deh, gue beliin lo oleh-oleh tapi gue gratisin satu buku lo
beserta tanda tangan lo. Sekarang kan tanda tangan lo mahal,” kelakar Anggi.
“wuuu...bisa aja, siip
deh! Yaudah, baik-baik disana ya,”
“siip! Bye Delon!”
“Deliaaaa Nggi!”
“iya Del..bye!”
“bye!”
Klik!
“aish! Selalu aja manggil
seenak udel.” Gerutuku.
“permisi, masih bisa
minta tanda tangannya Mbak Delia?” sapa sebuah suara.
Aku mendongakkan wajahku
ke sosok di depanku. “boleh,” sahutku.
Entah, apa aku mimpi,
antara percaya dan tidak. Benarkah cowok ini?. Aku memakai kacamata yang sempat
aku lepaskan tadi.
“Genta?” itulah kali
pertama aku menyebutkan namanya langsung di depan orangnya sejak bertahun-tahun
lalu.
Genta mengangguk lalu
tersenyum. Kali ini bukan Genta yang aku kenal dahulu. Entah kemana kesan
urakannya. Kaos merah dipadu jaket putih dan sepatu kets putih menambah kesan
innocent cowok itu.
“punya waktu sebentar
Mbak?” ucap Genta.
“mm...maksudnya?” jawabku
gugup.
“hanya ingin mengajakmu
minum sebentar sekalian interview,” sahutnya.
Akupun mengiyakan namun
sebelumnya meminta izin ke orang EO untuk keluar.
Tempat yang kami datangi
lumayan nyaman dan tak terlalu ramai. Genta memilih tempat yang agak jauh dari
pintu masuk restorant. Viewnya juga indah. Sebuah bukit kecil nan hijau
terlihat menyejukkan dan memanjakan mata pengunjung.
“jadi, mau pesen apa? Jus
jambu?” tanya Genta.
“What? Bagaimana kamu
tau? Tapi okelah, makannya samain aja deh.” Sahutku.
Aku melemparkan pandangan
jauh ke arah perbukitan. Sesekali tatapan mata kami beradu dan membuatku salah
tingkah. Entah, padahal perasaan ini sudah lama namun masih tetap sama rasanya.
Sudah dua kali aku pacaran dan putus. Namun, aku tidak pernah merasakan
perasaan ini dengan dua pacarku sebelumnya. Dan aku sadar, perasaan ini masih
sama dan utuh untuk Genta.
Pelayan restopun kembali
membawa pesanan kami.
“jadi, sekarang sudah
sukses dong ya jadi penulis,” Genta memulai pembicaraan kami pada akhirnya.
Aku tersipu malu mendapat
pujian dari Genta.
“biasa aja, lagian ini
kan kali pertamaku Ta,”
“setidaknya cita-citamu
jadi penulis tercapai dong ya?”
“cita-cita? Bagaimana
kamu tau?” pertanyaan itu kembali terlontar dari mulutku.
“gimana ya?” Genta hanya
tersenyum menatapku sembari mengaduk-aduk Capuccino-nya.
“oya, kamu kerja dimana?”
tanyaku mengabaikan pertanyaan pada Genta sebelumnya.
“sejak lulus sarjana dua
tahun lalu, aku masih bantu ayah di kantornya.”
“oya? Bisnisman dong ya,”
“kamu sendiri?”, “aku
kerja di sebuah perusahaan sebuah tabloid terkenal disini, ya sekalian nyalurin
hobi jadinya. Passion-ku udah aku
dapetin disitu.”
Genta mengangguk. “jadi,
Senja gak bisa bersatu dengan Bintang ya endingnya? Sayang sekali loh Del,”
Aku tersentak. Genta
menyebutkan dua nama tokoh dalam novelku.
“hmm..Bintang hanya bisa
dilihat, terlalu susah untuk diraih,” aku tersenyum.
“kalau suatu hari
kebetulan mereka bertemu, balik lagi saling jatuh cinta gimana?”
“tidak ada sebuah
kebetulan Ta, semua adalah takdir. Yaa..Bintang kan sudah menghilang, jika
takdir akhirnya mempertemukan mereka...”
“happy ending?” sergah
Genta.
“Genta..” ucapku.
“Del, terlepas itu takdir
atau kebetulan, cinta sejati apa kamu percaya?”
“entahlah,” aku menggeleng.
“bahkan mungkin ini
kedengarannya bakal lucu. Well! Aku udah lama memperhatikan kamu Del, dari
jaman kita SMP. Kita memang sering berantem, tapi itu sanyalah salah satu cara
agar aku bisa terus deket sama kamu. Karena..”
“karena??”
“karena aku selalu gak
punya keberanian buat bilang ke kamu,”
“jadi...”
“ya! Aku suka sama kamu,
udah dari dulu, aku tau kamu suka jus jambu karena kamu selalu memesannya di
kantin tempat nongkrong cowok-cowok. Aku tau cita-citamu jadi penulis, aku
selalu membaca cerpen atau buletin mingguanmu yang kamu tempelkan di mading
sekolah. Yaah..konyol memang,”
“jadi selama ini gak Cuma
aku yang stalk kamu dong ya?” aku keceplosan membeberkan aibku sendiri pada
Genta.
“maksudnya? Jadi...” seru
Genta.
Aku kembali tersipu malu.
“Genta, apa Bintang yang
selalu diharapkan Senja bakal ditakdirkan bertemu dan kembali bersama dengan
kisah yang lain?” tanyaku.
“mungkin,” Genta
tersenyum dan perlahan meraih tanganku.
Mataku bersaput mendung,
perasaanku meledak-ledak bahagia. Aku percaya ini takdirku. Hari ini Tuhan
memberikan dua hadiah terindah. Cita-citaku hari ini terwujud dan novel
pertamaku berhasil terbit. Hadiah kedua dan terindah adalah cinta pertamaku,
Genta, hari ini takdir mempertemukan kami.
“jadi...tetep sad
ending?” ucap Genta menggoda.
“hmmm...bakal jadi
Dwilogi, novel kedua gimana? Senja dan Bintang bersatu.” Aku tertawa renyah.
Genggaman kedua tangan Genta semakin erat.
Aku kembali melemparkan
pandanganku ke perbukitan. Angin berdesir menerbangkan dan membelai rambut
panjangku. Aku menatap Genta kemudian. Cowok itu bukan lagi anak SMP atau SMA
yang aku kenal beberapa tahun lalu, dia juga bukan musuh bebuyutanku lagi. Dia
adalah cowok dewasa sekarang.
“kamu terlihat manis
dengan kacamatamu sekarang,” ucap Genta.
“kamu memuji atau
menggodaku?” cibirku.
“mensyukuri anugrah
Tuhan,” lanjutnya disusul tawa kami berdua.
Kebetulan tak akan pernah
datang jika semuanya bukan karena takdir dan suratan Sang Kuasa. Hmm..ini bukan
tentang kebetulan dan takdir, ini tentang cinta pertamaku. Segalanya dimulai
dengan unik, meninggalkan kenangan manis dan berakhir dengan sebuah senyuman
bahagia karena terwujudnya harapan akan penantian yang sangat panjang.
#&^%&%$%#%^^$^ :)
@TiyasWidyastuti
@TiyasWidyastuti